puisiku.. harapanku..

SATU CERITA TENTANG

Jam telah menunjukkan pukul 08.00, Melly sudah terlambat setengah jam. Dia mempercepat langkahnya. Kampus agak lengang karena para mehasiswa telah masuk sejak tadi. Bukan kebiasaan Melly terlambat seperti hari itu. Semalam dia tidak bisa tidur, terkena insomnia mungkin dan membuatnya terlambat bangun. Dia telah sampai di depan ruangan kelasnya. Setelah menarik nafas panjang dia masuk.
“ assalamu alaikum,” serunya tanpa melihat kearah pak Dani karena dia yakin Dosennya itu pasti sedang mengamati dirinya dengan sinis, maklum dosen terkiller di kampusnya. Melly segera mengambil tempat duduk dan beruntung baginya karena pak Dani tidak necko-necko hari itu.
“ Gila lu Mel, berani juga lu telat.” Seru Inka sahabat kentalnya
“ Gak sengaja!!” ujar Melly pelan.
Pak Dani tidak lama mengajar, setengah jam setelah Melly masuk dia mengakhiri kuliah, tidak seperti biasanya memang tapi Pak Dani diketahui sedang sibuk akhir-akhir ini hingga tentu saja mahasiswanya kegirangan.
“ Kenapa lu bisa telat ?” tanya Sisi antusias. Sisi juga sahabat kentalnya.
“ Gak tau tuch, kemarin gw gak bisa tidur, akhirnya telat bangun dech.” Jawab Melly
“ Gak bisa tidur ?? “ teriak Inka dan Sisi berbarengan.
Melly mengangguk.
“ Emang lu sering gitu ?” tanya Inka dengan nada khawatir.
“ gak, baru tadi malam.” Jawab Melly
“ Lu lagi punya masalah ?” tanya Inka lagi.
“ oh iya, mungkin aja lu masih kepikiran ama cowok yang kemaren kali !!” Celutuk Sisi tiba-tiba. Melly diam.
“ cowok itu sebenarnya siapa sich ? “ tanya Inka.
Melly menghela nafas pendek.
“ Dia bukan siapa-siapa.” Jawabnya
“ Lalu kenapa waktu liat lu dia seakan-akan terkejut dan takjub, lalu waktu dia mau menghampiri kita, lu malah langsung ngeloyor pergi ? “ Ujar Sisi bingung
“ Udah akh, kita ke perpus yuk, ada tugas loch yang mau dikumpulin besok.” Seru Melly mengalihkan pembicaraan, dia berdiri.
“ Lu gak apa-apa kan dengan Arlan ? “ tanya Inka tiba-tiba. Melly menoleh terkejut.
“ Arlan ? kenapa nyambungnya kedia ? “
“ siapa tau dia selingkuhan lu dan lu gak mau kita-kita tau.” Tebak Inka.
Melly tertawa pelan.
“ gak lah, gw dengan Arlan masih baik-baik aja, en lu tau sendiri gw paling benci dengan perselingkuhan, masa gw mau lakuin itu sich. “ kata Melly.
“ Lalu ?? “ seru Inka
“ lalu apanya ? kita sekarang ke perpus. Ok’ !!” Melly menarik kedua sobatnya itu.
Inka masih menatap Melly, Melly menyembunyikan sesuatu tentang cowok itu. Dan dibalik semua ini pasti ada sebuah cerita yang rumit. Pikir Inka. Inka mengikuti sahabatnya walaupun masih banyak pertanyaan dikepalanya yang belum terjawab.


Inka melihat cowok itu lagi didepan kampusnya ketika hendak pulang. Hari itu kebetulan Melly dan Sisi lebih dulu pulang darinya. Inka menghampiri cowok itu.
“ hai !!” sapa Inka. Cowok itu tampak terkejut.
“ okh, hai!” balasnya tergagap
“ lu cowok yang kamis kemarin di kafe Jelita kan ? masih ingat gw ? gw temannya Melly. Lu kenal ama Melly kan ? “ tanya Inka memastikan
“ lu temannya Melly ? oh iya gw ingat, lu kemarin sama-sama dia di kafe. Gw Yudhi.” Serunya seraya memperkenalkan diri.
“ gw Inka. “ balas Inka.
“ Melly dimana ? “ tanya Yudhi sambil melirik kanan kiri Inka.
“Dia udah pulang. Lu siapanya Melly sich ? “ tanya Inka tiba-tiba. Inka memang terkenal blak-blakan, apa yang ada di kepalanya pasti dikeluarkannya secara spontan tanpa dia sendiri sadari.
“ gw... Melly gak cerita yach ? “ Yudhi balik tanya.
“ gak, udah gw tanyain tapi dia gak mau kasih tau tuch.” Jawab Inka.
“ Dia gak berubah.” Ujar Yudhi seakan-akan telah mengenal Melly lama.
“ lu ada masalah dengan Melly yach ? “ tanya Inka. Yudhi menundukkan kepalanya.
“ terakhir gw ketemu, dia benci banget ama gw.” Serunya setelah menghela nafas pendek.
“ benci ?? emang lu buat apa sampai dia benci banget ama lu ?”
“ kesalahan kecil yang gw buat justru menghancurkan gw. “ jawabnya membuat Inka bingung.
“ gw akan datang lagi besok,” tambahnya lagi kemudian pergi meninggalkan Inka.
Inka segera menemui Melly dirumahnya. Saat datang dia menemukan Melly sedang melamun.
“ hai!!” sapa Inka mengejutkan Melly.
“ eh lu, kebetulan. Lu gak ketemu Sisi dibawah ? dia lagi ngambil cemilan.” Seru Melly. Inka duduk disebelah Melly. Lama baru dia membuka suara.
“ Gw ketemu Yudhi tadi di kampus.” Kata Inka pelan. Melly tampak terkejut.
“ Yudhi ? lu bicara ama dia ? “ seru Melly curiga
“ dia banyak cerita. “ Inka masih memelankan suaranya.
“ cerita apa saja dia ? cerita kalau dia sangat meyesal dan seterusnya dan selanjutnya. Basi !!” ujar Melly sedikit keras tampak dia begitu emosi.
“ Dia memang tampak menyesal, tatapan matanya menunjukkan semua itu.” Kata Inka
“ rupanya dia berhasil meyakinkan lu.” Seru Melly ketus.
“ salah apa yang dia perbuat ? “ tanya Inka.
“ dia belum cerita rupanya, hmm, tentu saja dia tidak akan cerita.” Seru Melly masih dengan nada ketus.
“ kenapa lu bilang gitu ? lu gak biasanya seperti ini Mel, kalo lu benci ama orang gak bakalan segini-gini amat dech “ kata Inka serius.
“ lu mau tau apa yang dia buat ke gw ? mungkin dia pernah bilang kalo itu kesalahan yang kecil tapi berakibat fatal bukan ? “ Inka mengangguk mengiyakan.
“ dia pernah menjadi bintang dihatiku, sayangnya dia yang begitu gw percaya dg mudahnya mengobral janji kesetiap cewek bahkan pada sahabatku sendiri. Dia mampu membuat sahabat yang begitu gw sayang berpaling dan benci gw setengah mati.” Lanjut Melly agak keras, tampak dia begitu terluka. Dia diam sejenak dan menghelah nafas pendek.
“Yudhi ternyata tahu bahwa Dian, sahabatku, menyukainya. Aku sendiri tak pernah menyangka. Dibelakangku, Dian selalu memberi perhatian pada Yudhi. Yudhi yang terkenal suka Usil, menggodanya untuk jadi pacar gelapnya. Mereka toh jalan tanpa sepengetahuanku. Dia memang tidak benar-benar serius saat itu tapi Dian menganggapnya serius. Dian tidak terima Yudhi lebih mementingkan aku, dia menganggap bahwa dia punya hak untuk diakui. Saat itu gw baru tahu. Gw semestinya marah sewaktu Dian mengaku berhubungan dengan Yudhi dibelakangku. Dia bahkan menudingku macam-macam. Perusak kebahagiaanyalah, penghalang kepopulerannya lah dan banyak tuduhan-tuduhan lain yang lebih menyakitkan, tapi gw gak bisa apa-apa. Dia sahabatku, melebihi saudaraku. Ternyata banyak hal yang belum kumengerti dari dia setelah selama itu kami bersahabat, itu yang buat gw bungkam. gw lebih memilih pergi karena gw merasa gak ada gunanya gw tinggal, gw hanya akan lebih merasakan sakit. Gw gak bisa jalan lagi dengan Yudhi juga gak bisa lagi bersahabat dengan Dian. Apa yang gw harapin lagi ?”
“ besok dia mau datang lagi. Ada baiknya lu dengarin dia dulu Mel, bukannya dia juga punya hak untuk membela diri ? setidaknya urusan diantara kalian selesai, bukannya lu langsung pergi tanpa ngomong apa-apa kedia ?” Kata Inka pelan.
“ gw datang kekota ini untuk melupakan semuanya, gw lupa sifat Yudhi yang satu itu, dia akan memperjuangkan apapun yang diinginkannya.” Balas Melly
“ apa Arlan tahu tentang Yudhi ?” tanya Inka
“ Arlan ? dia tahu semuanya, sebelum gw menerimanya, gw cerita semua. Lu mau tahu kenapa dia gak terlalu dekat dengan kalian bahkan jarang ketemu kalian ? dia takut gw masih trauma. Semua itu sangat mempengaruhi gw.” Jawab melly.
” gimana perasaan lu ke Yudhi ?” tanya Inka lagi
“gw terlampau kecewa dan shock hingga walau sebesar apapun cinta gw kedia takkan membuat gw luluh. Dian adalah orang yang sangat gw sayang, melebihi diri gw sendiri, dari kecil kami tumbuh bersama dan seperti yang yudhi bilang kesalahan ‘kecil’ menghancurkan segalanya. Gw gak pernah berpikir dia mampu membenci gw segitunya. “ Melly menyusut airmatanya.
“ mungkin udah sejak dulu dia suka ama Yudhi.” Tebak Inka
“ dia gak pernah cerita, seandainya dia mengatakannya ke gw, gw gak akan menerima yudhi seberapa besarpun gw mencintainya karena bagiku Dian lebih berharga.” Melly kembali menangis. Tiba-tiba Sisi masuk.
‘ ekh Inka, dari tadi ? kok gw gak dengar suara lu sich ?” seru sisi terkejut.
Melly menyusutkan airmatanya. Ada juga untungnya Sisi agak tulalit hingga dia tidak menyadari apa yang terjadi dan saat dikatakan mata melly kelilipan diapun percaya saja.



Melly melihat sosok Yudhi dari jauh. Segera saja didekatinya.
“ Mel !!” seru Yudhi. Melly menghela nafas pendek.
“ lu masih marah ?” tanya Yudhi.
“gw gak akan kemari kalau gw masih marah Yud !!”
“kenapa lu mesti pergi ? Dian saja tidak tampak kehilangan, untuk apa lu sesalin dia? Dia bahkan masih terus berjuang buat dapatin...”
“gw gak pernah menyangka Dian seperti itu, tapi semuanya udah berakhir. Lu harus bisa lebih menghargai dia, lu bebas berhubungan sekarang tanpa harus sembunyi2, tanpa ada gw yang bisa jadi penghalang.” Potong Melly.
“lu gak bisa maafin gw ya, Mel ? “ tanya yudhi memelas.
“gw udah maafin lu, gak ada dendam yang gw simpan. Lu gak salah, Dian juga. Dalam hal ini gak ada yang bisa dipersalahkan. Tapi untuk menerima kehadiranmu kembali, gw gak bisa. Kita gak bisa seperti dulu lagi, perasaan gw ke lu udah lama gw kubur. 3 tahun, waktu yang cukup untuk menata hatiku lagi, hatiku yang lu hancurin berkeping2.” jawab Melly.
“bukan karena udah ada yang lain ? “ tanya Yudhi lagi.
“ maksudmu Arlan ? dia cowok yang baik, dia mampu menenangkan hati gw. Gak gw pungkiri dia juga salah satu alasan gw gak bisa nerima lu balik.” Jawab melly.
Yudhi menundukkan kepalanya dalam. Kemudian menghela nafas panjang.
“ ok’ gw gak akan ganggu lu lagi. Gw janji. Bahkan kalau perlu ini pertemuan kita yang terakhir. Gw bahagia kalau lu bahagia. Tapi satu yang perlu lu tahu gw gak pernah mencintai cewek lain selain lu, gw akan selalu menyimpan cinta itu. Gw memang bodoh, selalu ingin bermain. Akhirnya gw harus kehilangan cinta gw satu2nya, bayaran yang sangat mahal, sangat mahal.” Kata Yudhi sedih.
Yudhi kemudian pergi, Melly hanya menatapnya dalam diam. Dia tidak pernah menyangka bahwa kata-kata Yudhi memang dibuktikannya. Saat perjalanan pulang menuju kotanya Yudhi kecelakaan. Dia meninggal seketika. Melly tidak sempat lagi melihatnya. Melly kembali kekota kelahirannya itu ditemani Arlan dan menemui Dian. Ia tahu bahwa yang merasa sangat kehilangan pastilah Dian, karena dia tahu betapa Dian mencintai Yudhi bahkan mampu menyingkirkan dirinya di hati Dian, sahabat sekaligus saudaranya yang udah terjalin sejak kecil. Melly diberitahu pembantu Dian bahwa Dian sekarang tidak tinggal lagi dirumahnya. Melly menemuinya ditempat tinggal Dian yang baru. Pelan dia masuk keruangan sempit, kamar no.7. ditemani penjaga gedung besar itu.
“ Dian, ini gw Melly, lu kenapa jadi gini ?” Melly menangis melihat sahabatnya. Dian hanya diam saja, tatapannya kosong.
“ gw gak pernah membenci lu, gw masih sayang ama lu sampai sekarang.” Tambahnya lagi disela-sela tangisnya.
Dian tidak memberikan respon, dia hanya asik mempermainkan boneka ditangannya dan terus menerus menyebut nama Yudhi seakan-akan boneka itu adalah Yudhi. Sejam Melly terus memperhatikan tingkah sahabatnya itu dalam tangis.
“ udah Mel, udah. Kita pulang yach ?” ajak arlan. Direngkuhnya Melly.
Dian menjadi gila setelah kematian Yudhi. Tampaknya kematian Yudhi menjadi pukulan terhebat untuknya, seperti yang diperkirakan Melly namun dia tidak menyangka sahabatnya yang pendiam menjadi seperti itu. Dian tidak pernah sadar sejak saat itu, tapi Melly selalu menyempatkan diri menjenguk Dian. Cerita yang dulu begitu menyakitkan telah dikubur dalam-dalam. Dia tidak pernah menyimpan secuil dendampun untuk Dian. Dia selalu menyayangi sahabatnya itu, apapun yang dulu dilakukan Dian kepadanya.

Aku menatap pesawat telepon yang tergeletak di hadapanku dengan perasaan tidak menentu. Mengapa dia tidak juga menelepon padahal jam di dindingku telah menunjukkan pukul 12 malam. Hal yang sangat tidak biasa. Apakah kesalahanku sebegitu besarnya hingga dia masih juga marah padaku ? padahal jika dibandingkan hari-hari kemarin salahku kali ini tidak terlampau besar bahkan sangat sepele. Aku datang terlambat dari waktu yang kami janjikan tadi siang.
“ hi say.., udah lama ?”sapaku ketika mendapati Rury berdiri gelisah di depan kampusnya.
“ gila Lu, 2 jam gw nunggu. Lu pikir nunggu itu asyik yach ? kalo gak mo jemput, bilang aja biar gw gak usah nunggu.” Semprotnya langsung. Wajahnya tampak cemberut. Aku meraih tangannya yang mungil.
“ sorry, gw gak bisa kabur tadi dari anak-anak. Tuch mereka ada disana. Mereka malah gak percaya kalo gw mo jemput Lu. Dikiranya gw mo kabur dari mereka.” Seruku sembari menunjuk kearah teman-temanku yang berdiri disamping motor mereka masing-masing.
“ terus...?!” serunya tak sabar.
“ mereka mo racing. Gw mesti ikut katanya tapi gw mo ngantar lu pulang dulu.” Ujarku masih menggenggam tangannya.
“ yach udah pergi aja. Gw bisa pulang sendiri.” Serunya melepaskan genggaman tanganku.
“ gak bisa gitu donk. Gw kan udah janji mo jemput Lu.” Kilahku. Dia diam sejenak.
“ gw bilang, gw bisa pulang sendiri. Pergi aja, tuch teman-teman Lu udah pada bosan nunggu Lu. “ ujarnya tanpa expresi. Aku tahu dia sedang marah.
“ gw bilang gw mesti nganter Lu. Yuk...” ujarku seraya menarik tangan mungilnya.
“ Lu bukan cuma ngaret tapi penyakit pelupa Lu benar-benar udah akut. Emang gw minta Lu jemput gw buat dianterin pulang ?” serunya agak keras sembari melepaskan tangannya. Aku menepuk jidatku ketika ku ingat dia memintaku menemaninya kerumah bibinya.
“ duh, sorry dech gw lupa. Beneran ?! besok aja dech, gw janji nganterin.” Ujarku. Dia menatapku tajam.
“ gw bilang gw bisa pergi sendiri. Gak perlu harus ngerepotin Lu buat nganter Gw.” Ujarnya kemudian beranjak. Aku tidak sempat menahannya, dia telah meluncur dengan sebuah taxi. Rury adalah gadisku. Gadisku yang sangat kusayangi, gadis yang selalu membuatku gemas tatkala dia ngambek. Yach dia suka sekali ngambek, seperti saat ini. Aku tidak terlalu khawatir toh sudah biasa7 dia seperti itu. Ngambeknya Cuma sebentar. Malam harinya dia pasti menelepon dan mengancamku untuk tidak melakukannya lagi. Hampir tiap kali kami bertemu dia selalu ngambek. Aku sangat menyukai wajahnya yang cemberut tapi aku lebih menyukai dia yang tersenyum manis ketika aku memberikan dia sesuatu. Dia tidak pernah memandang apapun itu, sekecil apapun benda itu, dia pasti tersenyum dengan sangat manisnya. Dia bahkan bercerita jika benda-benda itu punya tempat khusus dikamarnya. Aku sangat menyukainya yang selalu menghargai apapun yang aku berikan padanya, dia yang selalu mengaturku, dia yang selalu menceramahi aku, melarangku melakukan hal-hal yang bisa merusak kesehatanku. Intinya aku menyukai dia seutuhnya, sisi manapun itu selalu membuat aku merasa aku sangat beruntung mempunyai dia. Tapi malam ini dengan gelisah aku menunggu teleponnya. Bukan karena aku pelit untuk mengeluarkan pulsa tapi sudah menjadi kebiasaannya jika dia pasti menelepon saat sudah lebih tenang. Tanpa terasa aku terlelap di samping pesawat telepon.

Aku tidak tahu berapa lama aku tidur. Badanku sangat letih. Semalam aku bermimpi namun aku tidak lagi mengingat seperti apa mimpiku. Aku bangun dengan malas-malasan. Aku ada kuliah pagi. Di kampus, aku tidak lagi bisa konsentrasi dengan mata kuliahnya. Pikiranku tertuju pada Rury. Mengapa dia tidak juga menghubungiku ? aku juga tidak ingin gegabah menemui dia yang sedang marah bisa-bisa satu keputusan keluar dari mulutnya yang sedang emosi. Aku tidak ingin kehilangannya. Aku tidak ingin mendengarnya mengatakan kata putus. Tiba-tiba perasaanku semakin tidak enak. Aku harus merubah sikapku. Pikirku. Aku terlampau cuek, tidak perhatian juga sangat pelupa. Aku bisa membuatnya lepas dari genggamanku jika aku tidak mau berubah. Suatu saat nanti dia bisa saja menemukan orang yang lebih baik dariku. Aku masih ingat benar bagaimana dia bisa menjadi gadisku. Dia adalah sosok yang sangat anggun. Aku menyukainya sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Hari itu tanpa sengaja aku menabrak mobilnya ketika aku terburu-buru kekampus.
“lu itu bawa motor gak pake mata yach ?” semprotnya langsung ketika mendapati mobilnya lecet.
“sorry, gak sengaja. Aku buru-buru.” Seruku. Walaupun bur-buru, aku masih menyempatkan diri untuk mengamatinya. Wajahnya imut, bukan karena terlihat polos tapi karena dari garis wajahnya saja sudah tampak dia cewek manja.
“buru-buru ? lu pikir hanya lu yang buru-buru ? gw juga buru-buru tau ?!” serunya keras. Aku menahan senyumku. Dia semakin manis jika marah-marah.
“hmm, gini aja dech. Lu kasih alamat lu, entar gw kesana buat ganti kerusakan mobil lu. Gimana ?” ujarku membuatnya mendelik.
“gw gak nuntut lu buat ganti kerusakannya. Tapi... udah, udah... pergi sana !” serunya kesal. Dia segera naik kembali kemobilnya. Aku meminggirkan motorku agar dia lewat. Dia menstater mobilnya namun tidak juga menyala. Aku mengamati dia yang tampak marak-marah pada mobilnya. Lama menggerutu sendiri kemudian dia menundukkan kepalanya terisak. Aku yang terkesima melihat pemandangan itu akhirnya mendekati mobilnya.
“mobil lu kenapa ?” tanyaku. Dia mendongakkan kepalanya kaget.
“lu belon pergi juga ?” dia balik nanya. Nada suaranya tidak lagi keras.
“gimana mo pergi kalo mobil yang gw tabrak gak bisa jalan. Gak tanggung jawab donk gw ?” seruku tersenyum.
“gak papa kok, biasa nich mobil gak bisa diajak kompromi. Pergi aja, katanya buru-buru.” Ujarnya manis. Dia menyusutkan airmatanya Aku semakin dibuatnya bingung dengan perubahan sikapnya yang drastis.
“sorry tadi gw marah-marah ke lu. Bukan salah lu sepenuhnya kok. Aku juga tadi menyetirnya gak bener.” Tambahnya lagi. Airmatanya kembali berderai. Dengan cepat disekanya.
“lu gak papa ?” tanyaku heran. Masa hanya karena mobilnya mogok dia menangis ?
“gak, gak papa. Thanks dech. Lu pergi aja.” Jawabnya cepat.
Aku bersikeras mengantarnya ketempat tujuannya. Karena seingatku dia juga sedang buru-buru. Namun ditolaknya dengan alasan dia sendiri bingung mau kemana. Pertanda dia sedang kalut. Akhirnya aku mengajaknya kekampusku. Anehnya dia mau saja ikut setelah lama berpikir. Itulah awal mulanya aku mengenalnya. Hari itu dia bercerita bahwa dia sedang marah kepada orang rumahnya. Awal yang tidak menyenangkan mungkin namun berakhir manis. 3 bulan aku setia menjadi tempat curhatnya ketika sedang ngambek dengan orang rumah. Akhirnya aku memberanikan diri memintanya menjadi gadisku.
“gak ada yang bisa tahan lama ama gw ?!” jawabnya saat itu.
“karena lu suka ngambek ?” tanyaku lagi sambil menahan senyum. Dia mengangguk.
“buktinya gw tahan kan ?” ujarku membuatnya berpaling padaku.
“itu karena lu belon tau gimana gw seutuhnya.” Katanya pelan.
“gw udah bilang gw sayang lu. Diri lu yang seperti ini. Seutuhnya termasuk adegan ngambeknya.”ujarku menggodanya. Dia tersenyum. Dan mungkin setelah lama berpikir akhirnya dia menyetujui menjadi gadisku. Telah berjalan 2 tahun sejak hari itu. Memang benar akhirnya aku bisa bertahan selama ini dan menurutnya aku orang pertama yang bertahan sebegitu lamanya. Aku memang tidak begitu terganggu dengan sifat manjanya itu karena aku mengenalnya. Hanya sebentar dia marah setelah itu dia akan kembali menjadi gadis yang manis. Dan memang benar aku mencintai dirinya seutuhnya bagaimanapun dirinya.

Telah 2 hari dia tidak memberi kabar. Ku coba menghubunginya lewat ponselnya tidak aktif. Telepon rumahnya juga percuma tidak ada yang menerima. Seakan-akan dia hilang ditelan bumi. Akhirnya kuputuskan untuk menemuinya. Aku segera meluncur kekampusnya. Bukan bermaksud untuk menjemputnya, aku hanya ingin mengetahui keadaannya. Aku mengamati satu persatu orang yang lewat. Lama akhirnya aku menyerah. Aku baru saja ingin menstater motorku ketika seseorang menyapaku.
“Rio...?!” aku berbalik dan mengamati gadis yang berdiri dihadapanku. Rani, dia sahabat Rury. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.
“eh, Lu...”
“kemana aja sich Lu ? Rury nungguin Lu. Dia udah terlalu lama tersiksa. Lu harus nemuin dia, harus?!” pekiknya membuat aku terkejut.
“aku memang ingin menemuinya.” Ujarku.
“gak ada yang tau nomor telepon Lu. Kekampus lu juga percuma. Lu gak bisa ditemukan. Dia udah terlalu lama tersikasa Yo...please...” serunya kemudian menangis membuatku semakin bingung.
“iya, aku memang ingin menemuinya. Tapi...kenapa lu bilang dia tersiksa ?” kataku heran. Dia menatapku dengan pandangan sedih.
“lu gak tau ? tentu aja Lu gak tau. Kalo lu tau gak mungkin lu nyari dia di sini bukannya di Rs.” Ujarnya seakan berbicara dengan dirinya sendiri.
“rumah sakit ? siapa yang sakit ?” tanyaku was-was.
“Rury... Rury... kecelakaan “jawabnya membuat aku tersentak.
“Rury ? Rury....”ujarku tidak percaya.
“2 hari yang lalu, waktu dia pulang dari kampus. Taxi yang membawanya kecelakaan.” Katanya lemah. Kepalaku terasa pening. Dunia terasa berputar terbalik. 2 hari lalu ? insiden ngambeknya Rury !. seketika perasaanku hampa. Aku menyesal, sangat menyesal karena membiarkannya pergi hari itu. Andai saja...

Ruangan yang di tempati Rury penuh dengan peralatan medis. Dia di ICU. Aku memasuki ruangannya dengan berbagai macam perasaan berkecamuk dihatiku.
Tampak gadisku terbaring tidak bergerak. Dipenuhi selang-selang infus. Aku mengelus kepalanya dengan sayang, kemudian tangannya kugenggam erat.
“Rury... gw udah dateng...?” ujarku berbisik. Hatiku miris melihatnya berbaring tanpa daya. Lalu seakan-akan gamabaran mimpiku tempo hari terlihat jelas dihadapanku seakan-akan mimpi itu menjadi sebuah film yang sedang aku tonton sendiri.
‘tok...tok...’ pintu kamarku diketuk dengan lembut. Lalu pintu itu terbuka. Aku hanya menatap pintu itu dalam diam. Lalu sesosok gadis berdiri di sana. Aku mengamatinya berusaha menajamkan penglihatanku. Gadis itu mengenakan gaun putih bersih. Walaupun dalam keremangan dan ditambah kabut yang entah darimana, Aku sangat yakin dia adalah Rury, gadisku. Aku baru saja hendak menyonsongnya ketika dia mengisyaratkan aku untuk tetap ditempatku. Banyak kata yang ingin aku keluarkan namun seakan mulutku terkunci. Aku ingin sekali minta maaf padanya.
“aku mo minta maaf, Yo....” ujarnya pelan. Dia tersenyum namun hatiku terasa tidak tenang. Padahal aku sangat menyukai senyumnya itu.
“aku cewek yang menyusahkan yach ? aku gak pernah bermaksud seperti itu. Aku sayang kamu, sayang banget. Kamu orang pertama yang tahan dengan sikapku. Aku terlalu takut untuk kehilanganmu. Dan aku tahu aku tidak akan bisa.”tambahnya. dia diam sejenak.
“kamu janji untuk tetap bahagia yach Yo... kamu harus bahagia. Kamu harus ingat satu hal. aku hanya bisa bahagia kalo kamu bahagia.” Dia menundukkan kepalanya kemudian menatapku dengan lembut.
“kamu gak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja. Semua yang terjadi adalah sebuah pilihan terbaik.” Tiba-tiba perasaan was-was menyelimuti hatiku. Apakah dia ingin mengucapkan kata putus ?
“aku sayang kamu.... dan tidak akan pernah aku benar-benar bisa marah padamu...”
“kamu akan baik-baik saja kan ?” dia terus saja bicara seakan dia sedang bicara pada dirinya sendiri. Anehnya mulutku seakan terkunci rapat, tidak mampu berbicara.
“aku tidak bisa pergi jika kamu belum mengikhlaskan aku....” tiba-tiba kabut-kabut itu menghilang dalam sekejap membuatku merasakan kembali ruangan dingin ICU. Aku tersentak mendapati Rury masih berbaring tidak bergerak. Aku menatapnya tidak percaya ketika aku menyadari apa yang telah terjadi.
“lu mo ninggalin gw ?” tanyaku padanya. Aku berdiri dan melepaskan genggamanku.
“lu gak akan tega kan Ry, Rury... bangun... kamu udah terlalu lama tidur” aku mengguncangkan tubuhnya berharap dia akan bangun dan berteriak ‘kena lu’ namun tubuhnya tetap lunglai tidak bergerak.
Seseorang kemudian mendekapku dari belakang, manahanku untuk tidak mengguncangkan tubuh Rury.
“kamu harus ikhlasin dia...” ujarnya. Dia ayah Rury.
“dia tidak boleh pergi gitu aja. Aku belon menebus kesalahanku. Aku... aku...”
“dia udah cukup tersiksa.. bapak mohon, ikhlaskan dia...” ujar ayah Rury sedih. Aku menatap Rury dengan perasaan tidak menentu. Sedih, luka dan duka bercampur menjadi satu serta marah pada diri sendiri.
Aku memalingkan wajahku. Kemudian tangan Rury bergerak.
“Rury...” panggilku senang merasa ada harapan Rury untuk selamat. Aku mendekatkan telingaku mendengarnya berbisik.
“lu harus bahagia Yo... harus...” ucapnya terbata-bata dengan sisa nafasnya membuatku hatiku semakin miris.
“janji Yach Yo...” tambahnya membuat hatiku sakit. Aku genggam erat tanganya.
“aku akan bahagia...”ucapku akhirnya. Aku tidak tahan melihatnya tersiksa.
Dia tersenyum, senyum yang manis kemudian kepalanya terkulai. Dia telah pergi, aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Isak tangis mama Rury terdengar pilu menyayat hatiku. Aku janji akan bahagia... akan aku nikmati kebahagiaan yang belum sempat kita nikmati bersama karena aku tahu jauh di atas sana Rury sedang melihatku. Saat aku tersenyum, aku tahu diapun akan tersenyum. Aku mencintaimu Rury... kamu tahu itu.... aku tidak akan pernah mengucapkan selamat tinggal karena aku yakin kamu selalu menyertai langkahku... dan tidak akan kusesali hari kemarin karena keindahan hidupku adalah kemarin saat bersamamu juga hari esok karena kamu tidak benar-benar meninggalkan aku...ucapku dalam hati mengantarkan kepergiannya menghadap Ilahi...