INDONESIA 4 CHAT ROOM COMMUNITY
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


SELAMAT DATANG DI FORUM INDONESIA 4--FORUM KREATIF DAN CERDAS
 
IndeksLatest imagesPencarianPendaftaranLogin

 

 Numpang Nyalurin Hobby yak...!!!

Go down 
3 posters
PengirimMessage
Mia Oesil

Mia Oesil


Posts : 167
Join date : 01.04.09

Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! Empty
PostSubyek: Numpang Nyalurin Hobby yak...!!!   Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! I_icon_minitimeWed May 06, 2009 4:34 am

Cer PaN dagh.. daripada dprotes bilang Cerpen...


Di Mana Cinta??


Jakarta, 12 March 2008
Aku melangkah pelan menikmati udara panas Jakarta yang kurindukan. Indonesia tepatnya… tempat yang kurindukan selama ini. 5 tahun di Australia tidak menyurutkan rasa nasionalismeku terhadap Indonesia, sekalipun aku di jamu oleh teriknya matahari, Indonesia kan Negara tropis. Transit di Jakarta Cuma 2 jam. Aku masih harus menempuh 2 jam kurang lebih di pesawat menuju kota asalku. Makassar. Aku rasanya tidak sabar untuk sampai di sana. Aku ingin segera menemui dia… karena dia aku bisa berada di Austalia, kuliah. Dia yang mendorongku untuk mengambil kesempatan emas mengikuti program pertukaran pelajar antar Negara. Karena dia juga aku segera pulang setelah Yudisium. Aku telah berhasil menjalani kehidupanku di sana. Dia tidak tahu hal itu. Ada perasaan was-was juga setelah lebih dari 6 bulan tidak ada kabar sedikitpun darinya. Dia tidak tahu aku telah pulang, dia tidak tahu jika karena dia, aku semakin memburu tesisku agar aku cepat selesai dan segera pulang kembali berada di sisinya. Kurang dari 24 jam lagi aku bisa menemuinya.
“De.. ni minum buat kamu.” Seorang cowok tegap, tinggi, putih berada di hadapanku menyodorkan sebotol minuman dingin. Arga. Kami se kampus di Aussie. Bedanya aku di biayaiin pemerintah sedangkan dia, biaya sendiri. Orang tuanya pejabat penting di kota asalnya, Palembang.
“thanks…” balasku tersenyum.
“so… jam berapa pesawat kamu berangkat?” tanyaku seraya meminum minuman yang disodorkannya.
“pesawat kamu berangkat jam berapa?” tanyanya balik.
“loh… kok balik nanya.” Seruku tertawa.
“kan kita satu pesawat.” Katanya cuek.
“gimana bisa satu pesawat, kamu mo kemana, aku mau kemana??!!” sergahku di sela tawaku.
“kan aku mau jalan-jalan ke Makassar. aku belon bilang ya?” katanya membuatku terpengarah.
“becanda kamu…” seruku berhenti tertawa.
Aku mengamati wajahnya. Dia tampak tidak sedang bercanda. Dia memang jarang sekali bercanda. Baginya hidup harus di jalani dengan keseriusan, ada tempatnya sendiri untuk main2 katanya.
“kok tiba-tiba?” tanyaku masih terkejut.
“siapa bilang tiba-tiba? aku udah mikirin semuanya bahkan sebelum kita berencana untuk berangkat. Udah lah, aku gak bakalan ngerepotin kok. Cuma mw liat aja kampung halamanmu kayak apa.” Sergahnya seraya mengibaskan tangankan ke depan wajahku seakan menghalau semua pikiranku untuk menolaknya ikut.
“ya udah. Kamu udah ngomong ke orang tua kamu kan?” tanyaku lagi membuat dia tertawa.
“gila kamu. Emang aku balita? Kemana-mana harus wajib lapor. Mereka bahkan gak tau anaknya udah selesai.” Dia masih tertawa saat pesawat kami siap untuk berangkat. Makassar… I’m Coming!!

* * *


Taxi yang membawa kami menyelusuri kota Makassar berjalan dengan kecepatan cukup tinggi melalui jalan Tol. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, tersenyum memikirkan respon dia yang selama ini aku rindukan, dia yang selalu aku tunggu teleponnya yang tidak menentu waktunya, mengingat biaya yang harus dikeluarkan. dia tidak menelepon udah beberapa lamanya, aku pikir mungkin itu disebabkan oleh kesibukannya juga menyusun skripsinya, mengingat ini juga tahun terakhirnya. Dia juga tidak mengirim email. Email adalah satu-satunya penghubungku dengannya. beberapa bulan tanpa kabar makin menumpuk kerinduanku. Arga duduk di sampingku juga dalam diam. Barangkali dia sibuk mengamati jalanan yang tidak dikenalnya. Lama kami sibuk dengan pikiran masing-masing, taxi yang membawa kami telah memasuki kota meninggalkan jalan lengang di TOL. Jalanan yang kami lalui sekarang padat kendaraan. Wah 5 tahun aku meninggalkan kota ini dan telah banyak yang berubah. Makassar hampir menyerupai Jakarta dalam hal macet.
“ kapan kamu mau menemui Revan?” Tanya Arga memecah kesunyian.
“rencananya sih aku mau langsung ke tempat kos-annya tapi berhubung kamu ikut, mending cariin kamu hotel dulu buat nginap. Gak mungkin kan kita serumah?” jawabku sembari mengerling nakal.
“kamu takut dia salah paham?” tanyanya lagi.
“yah nggak lah. Dia bukan tipe cowok yang suka cemburuan. Justru dia akan berterima kasih banget sama kamu karena kamu udah jagain ceweknya selama berada di negeri orang. aku udah cerita tentang kamu kok ke dia. Malah dia pengen banget kenal sama kamu.” Jawabku tersenyum.
“masa sih dia gak cemburu? Kalo aku sih, aku gak akan biarin seorang cowokpun deket-deket kamu, kalo aku jadi dia.”
“makanya aku sayang banget sama dia. Karena dia itu bukan tipe cowok kebanyakan.” Ujarku tertawa mengejek.
“kalo dia gak cemburu, ya udah kita langsung aja ke sana. aku gak mau halangin kamu ngelepas rindu. Gak bakalan aku ganggu deh.” Kata Arga membuat aku tertawa makin keras.
“gak mungkin kan kita ke sana dengan barang2 yang segede gunung gitu? Kita cariin kamu hotel trus kita ke rumahku anter barang, lalu kita ke sana bareng, kalo kamu maksa pengen ikut.” Putusku.
Arga diam saja kembali mengamati jalanan yang udah agak lengang. Aku menginstuksikan pak sopir taxi yang kami tumpangi agar mengantarkan kami ke hotel Delima, hotel itu gak jauh dari rumahku.

* * *


Aku menjejakkan kakiku di depan kos-an Revan dengan hati berbunga-bunga. Arga mengikutiku di belakang. Aku menghirup udara dalam-dalam berusaha untuk menenangkan hatiku. Aku mengetuk pintu kamarnya pelan. 3 kali, tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang keluar. Aku mengedarkan pandanganku mencari sosok yang aku kenal. Beberapa anak kos tampak berseliweran tapi tak satupun dari mereka yang aku kenal, ternyata 5 tahun telah membuat kos-an ini berganti-ganti penghuni.
“cari siapa dek?” Tanya seorang ibu paruh baya ramah. Sepertinya pemilik kos-an itu. Aku memang tidak pernah bertemu dnegan pemiliknya dulu saat aku sering berkunjung di sana.
“Revan bu, dia masih di kampus sepertinya.” Jawabku membalas senyumnya.
“Revan? Hmm… sepertinya tidak ada yang namanya Revan dek di sini. Kamar ini udah sebulan kosong. Lagi pula yang dulu tinggal di sini namanya bukan Revan tapi Danu. Apa dia yang adek cari?” kata ibu itu membuat aku terperangah, kaget. Revan udah gak tinggal di sini?
“ohh, jadi Revan udah gak tinggal di sini ya bu? Emangnya Danu itu udah tinggal berapa lama di kamar ini Bu?” tanyaku penasaran. Sejak kapan Revan pindah dan kenapa dia tidak memberitahuku.
“udah 3 tahun dek dia tinggal di sini. Dia keluar dari kos-an ini juga karena kuliahnya udah selesai. Dia pulang kampung.” Jawab Ibu itu kemudian dia pamit untuk kembali ke rumahnya karena dia sedang memasak.
Di mana Revan? Dia telah meninggalkan kos-an ini setidaknya 3 tahun lalu. Kenapa di emailnya dia tidak pernah memberitahu. Emailnya yang terakhir, aku mencoba mengingat-ingat 6 bulan yang lalu. Dia tidak pernah menyinggung hal ini. Aku mengeluarkan hp-ku. Terpaksa aku harus menghubungi ponselnya padahal rencananya aku ingin membuat surprise. Aku menekan nomor Hpnya. Tidak aktif. Bahkan informasinya mengatakan nomor itu sudah tidak aktif lagi. Dia ganti nomor? Ada apa sih dengan Revan, dimana dia dan kenapa dia ganti nomor juga tidak bilang-bilang? Apa ponselnya Raib? Akhghh… aku bingung.
“kenapa De?” Tanya Arga tiba-tiba ada di hadapanku. Sedari tadi dia hanya menunggu dipagar. Aku tidak menjawab malah menatap ponselku heran. Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepalaku membuatku tambah pusing.
“kita ke kampusnya.” Seruku kemudian bergegas menuju taksi yang masih menunggu kami.

* * *


Revan kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri yang paling bergengsi di Makassar bahkan se Indonesia timur. Dia mengambil jurusan Pertanian, tepatnya Teknologi Pertanian. Katanya sih dia bercita-cita meningkatkan pertanian di desanya mengingat desanya memang desa para petani. Dengan langkah tergesa aku bergegas menuju secretnya petinggi kampus, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Dulu sewaktu aku belum ke Aussie, aku sering di ajak Revan ke sana. Berhubung dia memang menajdi salah satu pengurusnya. Secretnya sendiri adalah sebuah ruangan yang tidak bisa di bilang luas malah terbilang sempit di tambah barang-barang perlengkapan BEM yang seakan dijejali paksa dalam ruangan itu. Aku berhenti tepat di depan pintu, bimbang. Arga yang mengikutiku, ikut-ikutan berhenti agak jauh.
“cari siapa Mbak?” Tanya seorang cowok berkaca mata minus yang tiba-tiba membuka pintu, sepertinya dia hendak keluar.
“ hmm… Revannya ada?” tanyaku setelah mengatasi keterkejutanku.
“Revan?? Hmm…Revan yang anak Tekper ya Mbak?” tanyanya balik sekedar meyakinkan dirinya.
Aku mengangguk antusias. Akhirnya… aku sedikit lega karena aku merasa semakin dekat dengan Revanku. Aku menunggu cowok tadi yang tampak mengerutkan keningnya bingung membuat kelegaanku tadi melayang seketika.
“hmm.. tunggu bentar ya Mbak..” Ujarnya kemudian masuk kembali ke ruangan tadi. Tidak lama kemudian dia keluar bersama seorang cowok lain. Aku merasa mengenalinya.
“Dea ya??” Tanya cowok itu ragu. Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku mengingatnya. Cowok itu adalah salah satu sahabat Revan. Wawan namanya.
“hai… apa kabar? Kapan balik dari Aussie?” serunya kemudian menjabat tanganku plus senyum lebarnya.
“baru tadi pagi. aku langsung ke kos-an Revan tapi dia gak ada. Katanya udah pindah Kost.” Jawabku
“kita duduk di kantin aja ya… gak enak kita berdiri di jalan seperti ini. Lagian kamu pasti capek. Yuk?!!” ajaknya kemudian aku berbalik mencari sosok Arga yang hampir aku lupakan. Arga masih berdiri di tempatnya mengamati kami.
“oh iya… kenalin ini Arga. Temenku di Aussie. Dia mau jalan-jalan di Makassar, liburan.” Kataku ketika kami telah samapi di kantin kampus. Mereka pun berkenalan.
“Revan emang udah pindah kost. Cuma 2 tahun dia tinggal di sana. Dia pindah kost dekat dengan kampus sini, jadi lebih efisien katanya.” Wawan akhirnya menjawab kebingunganku yang pertama.
“kenapa dia gak cerita ya?” tanyaku pelan.
“mungkin dia gak nganggap hal itu penting untuk diceritain dengan waktu komunikasi kalian yang pendek.” Jawab Wawan seraya menyeruput minumannya. Arga masih diam mendengarkan.
“jadi? Kenapa dia gak ke kampus? Atau dia lagi sibuk nyusun skripsi di kost-annya itu?” tanyaku antusias. Wawan diam cukup lama.
“dia lagi gak ada di Makassar. Dia pulang ke desanya, sekalian penelitian. Terakhir dia kasih kabar 6 bulan yang lalu, kalo gak salah. Penelitiannya di perpanjang katanya. Dia meneliti di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertanian yang ada di desanya sana. Agak jauh juga sih letak perusahaan itu dari rumahnya, makanya dia tinggal di Mess perusahaan, katanya.” Jawab Wawan sembari tersenyum tidak enak. Aku lemas seketika.
“desanya dari sini emang jauh ya?” Tanya Arga tiba-tiba. Aku menatap Wawan menunggu jawaban.
“sekitar 5 jam perjalanan kalo naik mobil pribadi.” Jawabnya. aku berusaha menenangkan hati dan pikiranku. Aku tidak boleh patah semangat mencarinya.
“boleh minta alamat perusahaan tempatnya meneliti atau rumahnya di sana?” Tanyaku kembali bersemangat. Wawan menatapku bergantian dengan Arga kemudian tersenyum.
“kalo alamat perusahaan tempatnya meneliti kebetulan aku tahu karena waktu dia buat proposal buat meneliti di sana, aku yang bantuin dia. Tunggu sebentar saya cek dulu di computer secret.” Jawab Wawan kemudian bergegas ke secretnya.
Tidak lama kemudian dia kembali sembari menyodorkan selembar kertas berisi alamat Perusahaan tempat Revan malkukan penelitian. Kamipun pamit. Arga memaksa mengantarkan aku terlebih dulu setelah itu taksi yang mengantar kami, mengantarkannya ke hotel tempatnya menginap. Arga cukup membuat aku tenang dengan tidak banyak mencecar malah dia langsung menyusun rencana buat berangkat mencari Revan ke desanya. Hal itu membuat aku kembali bersemangat. Aku beruntung ada Arga yang menemaniku. Dia adalah sahabat yang sangat baik.

* * *


Esok harinya, pagi sekali tanpa membuang waktu kami langsung berangkat menuju desa Revan. Kami menyewa sebuah mobil plus sopirnya tentu saja mangingat Arga belum mengenal jalan-jalan di kota Makassar. Dia tidak banyak berbicara. Malah dia tampak asyik berpikir. Hal itu cukup menenangkanku. Aku bisa menata ketenangan hati dan pikiranku kembali setelah menghadapi banyak pertanyaan tentang keberadaan Revan. 5 jam perjalanan, 3 jam terakhir aku tertidur. Ketika sampai di desanya, hari sudah menjelang sore. Kami menyewa penginapan. Karena kondisi tubuh kami yang tidak memungkinkan untuk langsung mencari. Lagipula kemungkinan besar perusahaan itu sudah tutup. Keesokan paginya kami langsung dihadapkan dengan udara dingin yang menyegarkan. Desa itu masih sangat asri. Jauh dari polusi. Dengan mudah kami menemukan perusahaan itu. Kami langsung bergegas memasuki kantornya yang lebih mirip kantor camat.
“ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang bapak setengah baya ramah ketika kami sampai.
“selamat pagi pak. Kami mencari seseorang yang sedang penelitian di sini. Dia dari universitas Makassar pak. Namanya Revan.” Jawabku tersenyum.
“ohh. Tunggu bentar ya. Bapak panggilkan pak Anwar. Dia yang ngurus yang gitu-gituan.” Katanya seraya bergegas ke belakang. Seorang bapak yang seumuran dengan bapak tadi keluar.
“ada yang bisa saya bantu?” Tanya bapak itu. Aku tersenyum, lucu. Bapak yang pertama menanyakan pertanyaan yang persis sama seakan mereka di latih untuk berkata seperti itu untuk pertama kali menyapa seseorang.
“maaf pak mengganggu. Kami nyari seseorang dari kota yang lagi penelitian di sini.” Jawabku lagi.
“penelitian?? Di sini udah gak ada lagi yang bukan staf yang kerja. Tapi… tunggu dulu. Revan?? Hmm.. emang ada yang meneliti di sini tapi itu setahun yang lalu. Kalo gak salah yang namanya Revan itu udah gak balik lagi 6 bulan yang lalu. Waktu itu dia ijin balik ke rumahnya tapi sampe sekarang dia gak balik-balik lagi. Jadi, dia dianggap udak keluar.” Kata bapak itu membuat aku seakan di hantam godam seberat 100 kg.
Mengapa selalu mentok di 6 bulan yang lalu?? Aku terakhir berkomunikasi dengan Revan 6 bulan yang lalu, Wawan juga sekarang bapak ini mengatakan terakhir dia ketemu Revan juga 6 bulan yang lau. Aku shock seketika. Kekuatanku yang ku kumpulkan dalam perjalan tadi rontok seketika. Aku seakan ingin menangis.
“apa bapak punya alamat rumahnya? Bukannya rumahnya di desa ini juga?” Tanya Arga berusaha mengembalikan suasana yang tidak enak. Bapak itu tampak berpikir sebentar.
“kalo gak salah sih emang rumahnya di desa ini juga tapi beda daerah. Tempatnya itu 3 jam perjalanan dari sini. Makanya dia lebih memilih menginap di Mess perusahaan. Tiap hari sabtu dia pulang karena sabtu-minggu perusahaan libur. Tunggu sebentar saya tuliskan nama daerahnya. Kalian Tanya saja. Dia pasti di kenal karena daerahnya itu kan gak begitu luas soalnya alamat lengkapnya juga bapak gak tau.”
Bapak itu menuliskan nama daerah rumah Revan berada kemudian menyerahkannya pada Arga. Aku masih shock tidak mampu berkata-kata. Aku memikrikan satu hal yang paling aku takutkan. Bagaimana jika aku tidak dapat menemukannya? Airmata mengambang di pelupuk mataku. Dengan langkah pelan kami menuju mobil. Arga menyerahkan alamat itu ke sopir yang kemudian mengantarkan kami. Arga tidak bicara sepatah katapun. Dan itu membuat aku tertolong. Aku merasa tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melakukan apapun bahkan berbicara sekalipun.

* * *


bersambung...


Terakhir diubah oleh Mia Oesil tanggal Wed May 06, 2009 4:50 am, total 1 kali diubah
Kembali Ke Atas Go down
Mia Oesil

Mia Oesil


Posts : 167
Join date : 01.04.09

Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! Empty
PostSubyek: Re: Numpang Nyalurin Hobby yak...!!!   Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! I_icon_minitimeWed May 06, 2009 4:47 am


tarik maaang... lanjutan na nie....

Di mana Cinta Bag 2


Aku mungkin kelelahan sehingga tertidur di mobil. Ketika bangun, aku mendapati mobil kosong. Mobil kami terparkir di sebuah petak tanah kosong. Aku keluar dari mobil kebingungan. Di mana Arga? Tidak lama kemudian Arga kembali bersama si sopir.
“rumahnya gak jauh dari sini. Tapi mobil gak bisa masuk. Kita jalan aja. Kamu masih kuat kan?” Tanya Arga seraya mengamatiku.
Aku mengangguk. Kekuatanku telah kembali pulih. Tiba-tiba saja keyakinanku kembali. Aku pasti akan menemukan Revan di sini. Kami berjalan melewati pohon-pohon bambu yang tinggi. Sekitar 10 menit kemudian kami sampai kembali di pemukiman warga.
“kata orang yang tadi aku Tanya sih. Rumah Revan ada di ujung. Satu-satunya rumah yang pake pagar ” kata Revan. Kami tidak sulit menemukannya. Karena hari sudah agak sore, desa itu tampak agak lengang.
Aku mengamati rumah Revan dengan kerinduan yang tidak terkira. Sesampainya di depan pintu aku mengetuk hingga 3 kali. Seorang Ibu setengah baya tampak membuka pintu.
“selamat sore bu. Benar ini rumah Revan?” tanyaku seraya tersenyum. Ibu tadi mengamatiku dengan seksama.
“kalian siapa?” Tanya Ibu itu tampak bingung.
“aku Dea bu… ini teman saya, namanya Arga. Kami mencari Revan bu. Dia ada?” jawabku masih tersenyum. Ibu itu tampak mengamatiku dengan seksama kemudian memelukku.
“jadi kamu yang namanya Dea?? Akhirnya… ibu sering di certain sama Revan tentang kamu. Dia benar, kamu cantik. Mari masuk…” Ujar Ibu Revan tersenyum. Dia merangkulku masuk ke dalam rumahnya. Arga mengikuti kami dalam diam.
“Revan kemana Bu? Kok gak kelihatan?” tanyaku antusias. Ibu Revan tiba-tiba kehilangan senyumnya. Lama dia terdiam.
“dia udah gak tinggal di sini nak..” jawab Ibu revan akhirnya.
“dia punya rumah sendiri bu?? Boleh tau di mana bu? Di desa ini juga kan?” tanyaku lagi. Panik.
“dia di desa ini juga nak…” jawab si Ibu lagi masih dengan nada yang sama. Lirih.
Perasaanku tiba-tiba tidak enak tapi aku berusaha meyakinkan diriku sendiri. Aku mencoba menghalau pikiran bahwa Revan telah memiliki keluarga sendiri bersama wanita lain. Aku percaya dia tidak mungkin melakukan hal itu padaku. Ibu Revan tiba-tiba berdiri.
“mari Ibu antar ke tempat Revan…” ujar Ibu Revan membuat aku kembali antusias. Aku tidak boleh menuduh Revanku tanpa bukti.
Ibu Revan mengantar kami melalui jalan yang hamper sama dengan jalan yang kami lewati tadi penuh dengan pohon bambu, bedanya adalah pohon-pohon di sini lebih lebat. Langkah si Ibu semakin pelan pertanda kami sudah hampir sampai. Aku mengamati jalanan di depan kami. Aku belum melihat satupun rumah. Mengapa Revan tinggal di tempat terpencil seperti ini? Aku tersenyum memikirkan dia lebih memilih hidup ditengah hutan seperti ini, hidup bersama tanaman-tanaman yang sangat di sayanginya. Akhirnya Ibu Revan benar-benar berhenti. Aku kebingungan dibuatnya. Tidak ada satupun rumah di sana. Aku mengamati sekelilingku. Kuburan!! Aku bergidik.
“Ibu… ngapain kita di sini?” tanyaku panik. Beragam macam pikiran berkecamuk namun aku menolak untuk mempercayainya.
“nak… Revan tinggal di sini sekarang. Tepatnya jasadnya. Jiwanya udah tenang di alam sana.” Ujar Ibu Revan tampak air mata mengambang di pelupuk matanya. Aku menggeleng tidak percaya.
“aku gak percaya!! Ibu jangan bercanda… ibu… saya mohon…” aku mulai terisak.
Aku tidak mau melangkah mendekat. Aku menolak untuk percaya. Ibu Revan ikut terisak. Dia duduk dekat dengan Nisan di kuburan itu. Tiba-tiba saja Arga telah berdiri di sampingku, merangkulku. Memberiku kekuatan untuk melangkah mendekat. Meyakinkan diriku. Di nisan itu masih tampak jelas nama Revan beserta tanggal lahir dan tanggal kematiannya. Tepat 6 bulan yang lalu. Aku seketika tidak sadarkan diri. Kenyataan itu aku tolak mentah-mentah.

* * *


Aku sadar keesokan harinya dengan kepala sakit bukan main. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Aku sekarang berada di sebuah kamar yang lumayan luas. Foto Revan tampak tersenyum tertempel di dinding menghantamku telak. Ingatan tentang kuburan membuat hatiku perih. Airmata merebak begitu saja. Aku terisak tanpa bisa menghentikannya. Ibu revan masuk bersama Arga dengan wajah cemas.
“Nak… dia udah tenang di alam sana nak… mungkin jalan terbaik untuknya seperti itu. Kamu harus mengikhlaskannya.” Ujar Ibu revan memelukku.
Tangisku makin pecah. Kenangan-kenangan bersama Revan menyeruak semakin mengaburkan pandanganku yang telah di penuhi air mata. Revan yang selalu tersenyum, selalu mengalah dari keegoisanku, selalu menjadi tempatku bersandar bahkan ketika kami jauh, selalu menjadi segala-galanya. Memikirkan bahwa dia benar-benar telah pergi membuat hatiku hancur. Aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkan hidupku tanpa dia ada di sampingku. Seketika aku merasa penyesalan yang amat sangat menghantam kesadaranku. Mengapa aku harus meninggalkannya? Dia telah meyakinkan aku untuk menerima beasiswa itu. Dia berpikir aku harus berusaha mandiri. Tapi jauh dari perkiraannya. Aku masih saja selalu bergantung padanya. Walaupun hanya sekedar lewat email atau telepon selalu saja masalahku yang menumpuk atau apa saja yang terjadi tidak pernah cukup aku ceritakan apdanya meminta dia menyelesaikannya atau mengomentarinya, memberiku kekuatan. Aku menyesal karena aku tidak di sampingnya ketika maut menjemputnya. Ibunya bercerita bahwa dia telah mengidap penyakit yang sangat kronis. Gagal ginjal. Dia pernah menolong orang yang tidak di kenalnya, menyumbangkan sebelah ginjalnya kepada orang itu. Ironis. Dia menolong orang yang punya penyakit yang akhirnya turut di deritanya bahkan merenggut nyawanya. Karena tidak ingin merepotkan Ibunya dengan biaya yang tidak sedikit, dia memilih untuk menjalani hidupnya begitu saja. Dia bahkan tidak bercerita kepada siapapun. Dia menyimpan rasa sakitnya sendirian. Menderita sendirian tanpa mengeluh sedikitpun. Itulah Revanku. Satu-satunya orang yang aku cintai, satu-satunya orang yang bisa membuat aku percaya bahwa di dunia ini masih ada orang baik, satu-satunya kekuatanku. Orang sangat mencintai senyuman, orang yang sangat mencintai kebahagian di mata orang lain bahkan sekalipun mengorbankan dirinya sendiri. Aku kembali ke pembaringan terakhirnya dengan langkah pelan seakan menapak tilas perjalanannya menuju tempat terakhirnya itu. Sesampainya di sana, Arga yang menemaniku, mengamatiku dari jauh. Aku menghela nafasku panjang, berharap kepedihan hatiku lenyap.
“Van… ini saya… De-mu…” Revan selalu memanggiku De-ku seakan menggambarkan kepemilikannya, hal itu membuat aku berbunga-bunga tiap kali dia mneyebutnya.
“Van… kenapa kamu tinggalin aku sepeti ini? Kamu bahkan gak ngomong apa-apa. Apa kamu udah gak sayang padaku? Kamu tega banget!! Kenapa kamu gak ngajak aku sekalian? Kenapa Van… Kenapa…” aku terisak memeluk nisannya, menggenggam tanahnya yang basah karena hujan semalam.
“kenapa kamu gak bilang Van? aku rela kamu ngambil satu ginjalku. Biar kita berbagi. Itu kan bisa nyatuin kita juga. Kenapa kamu gak membiarkan aku membagi separuh hidupku? Kenapa??” kataku di sela-sela tangisku.
“kamu ingat gak Van, kamu pernah bilang. Semenit saja kamu bisa jatuh cinta padaku tapi untuk melupakanku kamu butuh waktu seumur hidupmu, kamu ingat aku jawab apa? Kamu gak perlu melupakan aku karena aku akan selalu ada untukmu. Apa yang telah aku lakukan? Aku melanggar janjiku. Aku meninggalkanmu bahkan ketika kamu menahan kesakitanmu sendirian. Aku gak ada Van… aku Gak ada… kekasih macam apa aku ini? Aku yang jahat… aku jahat sama kamu… padahal kamu udah sangat baik padaku. Kamu pikir aku gak tahu Van? Kamu memilih kerja part time itu karena kamu gak mau lost contact sama aku? Kamu gak mau memberatkan aku dengan biaya. Aku tega, aku jahat membuat kamu kesusahan sendiri. Aku tidak pantas kamu cintai seperti itu Van.. gak pantas… kenapa kamu tidak mau berbagi sedikit saja kesusahanmu, kesedihanmu padahal semua kesedihan dan kesusahanku aku limpahkan padamu?? Aku jahat….” Aku menjerit membuat Arga mendekat ikut duduk disampingku.
Aku bahkan telah duduk di tanah, tidak peduli dengan tanah basah yang telah menjadi noda pada pakaianku.
“De… gak boleh… kamu dengar kata Ibunya kan?? Relakan dia… ikhlaskan… hanya itu yang bisa membuatnya tenang di alam sana. Hanya itu yang bisa kamu lakukan. Sesedih apapun kamu, dia pasti lebih sedih lagi neglihat kamu seperti ini. Bukannya kamu pernah cerita dia gak pernah mau lihat kamu bersedih, sekecil apapun itu??” ujar Arga seraya memelukku berusaha menenangkanku.
Aku masih terisak di pelukan Arga. Airmataku mengalir terus sekalipun aku berusaha untuk menghentikannya. Aku tahu Arga benar. Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah melepaskan dia dengan ikhlas. Aku tidak bisa menghentikan tangisku karena perih hatiku tidak mau juga hilang.

* * *


6 Bulan kemudian…
Aku menapak tilas perjalanan hidupku tepat setahun meninggalnya Revan. Sejak mengikutiku pulang, Arga tidak pernah meninggalkan kota ini juga. Aku tidak tahu apa yang menyebabkannya bertahan untuk tinggal bahkan sengaja menyewa kost2 an seakan ingin menetap saja. Arga aku tinggalkan di kost-an. Aku sengaja tidakmengatakan padanya bahwa aku ingin kembali menyusuri jejak terakhir Revan. Yach.. hingga detik ini pun aku tidak pernah sekalipun berhenti memikirannya. Perbedaannya adalah aku tidak lagi meratapi kepergiannya melainkan hidup dalam kenangan bersamanya. Aku telah kembali menjalani kehidupanku seperti biasa. Bersama Arga yang tidak pernah meninggalkan aku. Aku mengerti mengapa Arga bersikap seperti itu. Dia mencintaiku, beberapa kali telah disampaikannya padaku. Tetapi bagiku, cintaku hanya untuk Revan seorang. Arga mengatakan siap menungguku seumur hidupnya. Seandainya saja aku bisa… tetapi aku tidak sanggup mengganti tempat Revan dengan Arga sekalipun, tidak pernah selintaspun terpikir olehku.
Aku memulai perjalananku ke tempat pertemuanku dengan Revan pertama kali. Sekolah kami. Aku tersenyum sendiri mengingat kenangan itu. Sekolah kami telah banyak mengalami renovasi. Aku meninggalkan sekolah setelah letih berputar2. Sekolah memang sepi berhubung hari libur. Aku melanjutkan perjalananku ke tempat Revan menyatakan perasaannya padaku. Bukit cinta. Kamilah yang menamainya seperti itu. Aku beristirahat sebentar di sana menikmati udara segar. Bukit ini jauh dari pemukiman warga sehingga tidak banyak yang tahu, bahwa ada tempat seindah ini. Syukur juga sich karena tidak ada yang menggangguku sekarang. Aku tersenyum mengenang bagaimana cara Revan menyatakan isi hatinya…
“De… bersediakah kau menjadi Lentera Hidupku? Menemaniku di setiap langkahku? Menjadi penerang jalanku?” Ujarnya hari itu.
Aku tertawa mendengarnya hari itu. Revan yang selalu membuatku tertawa, dengan wajah merah padam menyatakannya dengan malu-malu. Aku tertawa terbahak-bahak membuatnya tambah malu. Hari itu tepat hari ulang tahunku. Revan yang selalu percaya diri mampu ku buat salah tingkah. Hari itu menjadi hari ulangtahun terbaik bagi ku dengan hadiah yang terbaik pula.
Aku melanjutkan perjalananku menuju tempat yang menjadi tempat kencan kami yang pertama. Pantai Losari. Aku sangat menyukai pantai. Tepatnya Laut. Aku bermain sebentar di tepi pantai. Hari ini walaupun merupakan hari libur tetapi berhubung matahari masih terik, Pantai tampak lengang. Puas bermain air, aku meninggalkan pantai di sertai senyuman mengingat segala hal yang selalu kami lakukan bersama2 jika berada di tempat itu.
Hari sudah agak sore ketika aku sampai di tempat kost lamanya. Aku hanya memandanginya dari luar. Memejamkan mata sebentar membangun kembali memory-memory sekecil apapun tentangnya. Hari terakhir aku bersama Revan di tempat itu adalah sehari menjelang keberangkatanku e Aussie. Malam itu, dengan susah payah dia menghentikan tangisku. Berusaha membuatku untuk berhenti berpikir mengurungkan niatku pergi. Dengan senyuman, aku meninggalkan tempat itu.
Sesampainya aku di bandara Hasanuddin, hari telah menjelang malam. Bandara tampak lengang. Penerbangan terakhir telah berlalu sejak sejam yang lalu. Aku seakan melihat diriku yang tidak ingin melepas genggamanku dari Revan ketika terdengar seruan agar penumpang segera menuju pesawat. Au mengamati diriku sendiri yang dengan susah payah di bujuk Revan agar mw pergi. Hari itu, mungkin aku memiliki firasat bahwa hari itu adalah hari terakhirku menggenggam tangannya, melihat dirinya. Aku segara menepis pikiran yang menyedihkan. Kepalaku terasa pening. Aku menguatkan diriku untuk melanjutkan perjalanan menuju tempat terakhirku. Tempat tinggal Revan-ku yang baru. Yah.. aku kembali ke desa Revan.
Hari telah benar2 larut saat aku tiba. Aku telah berdiri di depan nisan Revan. Kepalaku terasa semakin berdenyut2, seakan mw pecah tapi aku mengabaikannya. Aku duduk mengistirahatkan diri.
“Van… aku kembali… aku telah datang untuk menemanimu… bagaimana bisa kamu berpikir hidup di sana dalam kegelapan? Bukankah aku adalah lenteramu? Bagaimana bisa kamu berpikir bisa melangkah tanpa aku di sisimu menemanimu? Ini belum terlambat kan? Maaf karena aku terlambat datang. Maaf karena aku telah membiarkanmu melangkah tanpa cahaya selama ini. Maaf karena aku pernah meninggalkanmu… aku mencintaimu… aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi Van... aku janji… aku telah datang Van… jemputlah aku…”
Pandanganku mengabur diakibatkan sakit di kepalaku yang semakin menjadi… aku berusaha memfokuskan pandanganku. Sebentuk bayangan semakin jelas dalam penglihatanku.
“Van… makasih karena masih mau menjemputku…” ujarku Lirih.
Pandanganku gelap seketika. Sebelumnya aku sempat mendengar seruan terkejut seseorang memanggilku. Aku tahu itu suara Arga. Tidak mungkin suara Revan karena dia sedang bersamaku sekarang menggenggam tanganku erat. Dia telah menjemputku. Bersama Revan, kupandangi Arga yang mengguncang tubuhku berusaha menyadarkan aku, berteriak panik. Aku juga melihat tubuhku terkulai lemas di pelukan Arga. Aku sudah tidak di sana lagi.
“ Maaf Ga…” Seruku berharap Arga mendengarnya.
Arga tidak sedikitpun menoleh padaku padahal aku berada di depannya. Revan memelukku, menenangkanku yang menangis. Pedih rasanya hatiku melihat Arga berusaha sekuat tenaga membopongku ke mobilnya. Berusaha untuk sampai di rumah sakit tanpa menyadari semua telah terlambat. Aku telah menenggak racun yang mematikan. Waktu penyebaran Racunnya adalah 12 jam. Waktu yang ku gunakan untuk menapak tilas perjalanan hidupku bersama Revan. Aku telah berada di tempat yang seharusnya aku berada. Bersama Revan-ku… Aku sadar, aku tidak akan mampu hidup tanpa Revan di sisiku sekalipun aku punya seribu Arga yang mencintaiku.


END
Kembali Ke Atas Go down
sarah_manza

sarah_manza


Posts : 175
Join date : 31.03.09
Age : 35
Location : indonesia, medan

Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! Empty
PostSubyek: Re: Numpang Nyalurin Hobby yak...!!!   Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! I_icon_minitimeWed May 06, 2009 7:40 am

Mia Oesil wrote:
Cer PaN dagh.. daripada dprotes bilang Cerpen...


Di Mana Cinta??


Jakarta, 12 March 2008
Aku melangkah pelan menikmati udara panas Jakarta yang kurindukan. Indonesia tepatnya… tempat yang kurindukan selama ini. 5 tahun di Australia tidak menyurutkan rasa nasionalismeku terhadap Indonesia, sekalipun aku di jamu oleh teriknya matahari, Indonesia kan Negara tropis. Transit di Jakarta Cuma 2 jam. Aku masih harus menempuh 2 jam kurang lebih di pesawat menuju kota asalku. Makassar. Aku rasanya tidak sabar untuk sampai di sana. Aku ingin segera menemui dia… karena dia aku bisa berada di Austalia, kuliah. Dia yang mendorongku untuk mengambil kesempatan emas mengikuti program pertukaran pelajar antar Negara. Karena dia juga aku segera pulang setelah Yudisium. Aku telah berhasil menjalani kehidupanku di sana. Dia tidak tahu hal itu. Ada perasaan was-was juga setelah lebih dari 6 bulan tidak ada kabar sedikitpun darinya. Dia tidak tahu aku telah pulang, dia tidak tahu jika karena dia, aku semakin memburu tesisku agar aku cepat selesai dan segera pulang kembali berada di sisinya. Kurang dari 24 jam lagi aku bisa menemuinya.
“De.. ni minum buat kamu.” Seorang cowok tegap, tinggi, putih berada di hadapanku menyodorkan sebotol minuman dingin. Arga. Kami se kampus di Aussie. Bedanya aku di biayaiin pemerintah sedangkan dia, biaya sendiri. Orang tuanya pejabat penting di kota asalnya, Palembang.
“thanks…” balasku tersenyum.
“so… jam berapa pesawat kamu berangkat?” tanyaku seraya meminum minuman yang disodorkannya.
“pesawat kamu berangkat jam berapa?” tanyanya balik.
“loh… kok balik nanya.” Seruku tertawa.
“kan kita satu pesawat.” Katanya cuek.
“gimana bisa satu pesawat, kamu mo kemana, aku mau kemana??!!” sergahku di sela tawaku.
“kan aku mau jalan-jalan ke Makassar. aku belon bilang ya?” katanya membuatku terpengarah.
“becanda kamu…” seruku berhenti tertawa.
Aku mengamati wajahnya. Dia tampak tidak sedang bercanda. Dia memang jarang sekali bercanda. Baginya hidup harus di jalani dengan keseriusan, ada tempatnya sendiri untuk main2 katanya.
“kok tiba-tiba?” tanyaku masih terkejut.
“siapa bilang tiba-tiba? aku udah mikirin semuanya bahkan sebelum kita berencana untuk berangkat. Udah lah, aku gak bakalan ngerepotin kok. Cuma mw liat aja kampung halamanmu kayak apa.” Sergahnya seraya mengibaskan tangankan ke depan wajahku seakan menghalau semua pikiranku untuk menolaknya ikut.
“ya udah. Kamu udah ngomong ke orang tua kamu kan?” tanyaku lagi membuat dia tertawa.
“gila kamu. Emang aku balita? Kemana-mana harus wajib lapor. Mereka bahkan gak tau anaknya udah selesai.” Dia masih tertawa saat pesawat kami siap untuk berangkat. Makassar… I’m Coming!!

* * *


Taxi yang membawa kami menyelusuri kota Makassar berjalan dengan kecepatan cukup tinggi melalui jalan Tol. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, tersenyum memikirkan respon dia yang selama ini aku rindukan, dia yang selalu aku tunggu teleponnya yang tidak menentu waktunya, mengingat biaya yang harus dikeluarkan. dia tidak menelepon udah beberapa lamanya, aku pikir mungkin itu disebabkan oleh kesibukannya juga menyusun skripsinya, mengingat ini juga tahun terakhirnya. Dia juga tidak mengirim email. Email adalah satu-satunya penghubungku dengannya. beberapa bulan tanpa kabar makin menumpuk kerinduanku. Arga duduk di sampingku juga dalam diam. Barangkali dia sibuk mengamati jalanan yang tidak dikenalnya. Lama kami sibuk dengan pikiran masing-masing, taxi yang membawa kami telah memasuki kota meninggalkan jalan lengang di TOL. Jalanan yang kami lalui sekarang padat kendaraan. Wah 5 tahun aku meninggalkan kota ini dan telah banyak yang berubah. Makassar hampir menyerupai Jakarta dalam hal macet.
“ kapan kamu mau menemui Revan?” Tanya Arga memecah kesunyian.
“rencananya sih aku mau langsung ke tempat kos-annya tapi berhubung kamu ikut, mending cariin kamu hotel dulu buat nginap. Gak mungkin kan kita serumah?” jawabku sembari mengerling nakal.
“kamu takut dia salah paham?” tanyanya lagi.
“yah nggak lah. Dia bukan tipe cowok yang suka cemburuan. Justru dia akan berterima kasih banget sama kamu karena kamu udah jagain ceweknya selama berada di negeri orang. aku udah cerita tentang kamu kok ke dia. Malah dia pengen banget kenal sama kamu.” Jawabku tersenyum.
“masa sih dia gak cemburu? Kalo aku sih, aku gak akan biarin seorang cowokpun deket-deket kamu, kalo aku jadi dia.”
“makanya aku sayang banget sama dia. Karena dia itu bukan tipe cowok kebanyakan.” Ujarku tertawa mengejek.
“kalo dia gak cemburu, ya udah kita langsung aja ke sana. aku gak mau halangin kamu ngelepas rindu. Gak bakalan aku ganggu deh.” Kata Arga membuat aku tertawa makin keras.
“gak mungkin kan kita ke sana dengan barang2 yang segede gunung gitu? Kita cariin kamu hotel trus kita ke rumahku anter barang, lalu kita ke sana bareng, kalo kamu maksa pengen ikut.” Putusku.
Arga diam saja kembali mengamati jalanan yang udah agak lengang. Aku menginstuksikan pak sopir taxi yang kami tumpangi agar mengantarkan kami ke hotel Delima, hotel itu gak jauh dari rumahku.

* * *


Aku menjejakkan kakiku di depan kos-an Revan dengan hati berbunga-bunga. Arga mengikutiku di belakang. Aku menghirup udara dalam-dalam berusaha untuk menenangkan hatiku. Aku mengetuk pintu kamarnya pelan. 3 kali, tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang keluar. Aku mengedarkan pandanganku mencari sosok yang aku kenal. Beberapa anak kos tampak berseliweran tapi tak satupun dari mereka yang aku kenal, ternyata 5 tahun telah membuat kos-an ini berganti-ganti penghuni.
“cari siapa dek?” Tanya seorang ibu paruh baya ramah. Sepertinya pemilik kos-an itu. Aku memang tidak pernah bertemu dnegan pemiliknya dulu saat aku sering berkunjung di sana.
“Revan bu, dia masih di kampus sepertinya.” Jawabku membalas senyumnya.
“Revan? Hmm… sepertinya tidak ada yang namanya Revan dek di sini. Kamar ini udah sebulan kosong. Lagi pula yang dulu tinggal di sini namanya bukan Revan tapi Danu. Apa dia yang adek cari?” kata ibu itu membuat aku terperangah, kaget. Revan udah gak tinggal di sini?
“ohh, jadi Revan udah gak tinggal di sini ya bu? Emangnya Danu itu udah tinggal berapa lama di kamar ini Bu?” tanyaku penasaran. Sejak kapan Revan pindah dan kenapa dia tidak memberitahuku.
“udah 3 tahun dek dia tinggal di sini. Dia keluar dari kos-an ini juga karena kuliahnya udah selesai. Dia pulang kampung.” Jawab Ibu itu kemudian dia pamit untuk kembali ke rumahnya karena dia sedang memasak.
Di mana Revan? Dia telah meninggalkan kos-an ini setidaknya 3 tahun lalu. Kenapa di emailnya dia tidak pernah memberitahu. Emailnya yang terakhir, aku mencoba mengingat-ingat 6 bulan yang lalu. Dia tidak pernah menyinggung hal ini. Aku mengeluarkan hp-ku. Terpaksa aku harus menghubungi ponselnya padahal rencananya aku ingin membuat surprise. Aku menekan nomor Hpnya. Tidak aktif. Bahkan informasinya mengatakan nomor itu sudah tidak aktif lagi. Dia ganti nomor? Ada apa sih dengan Revan, dimana dia dan kenapa dia ganti nomor juga tidak bilang-bilang? Apa ponselnya Raib? Akhghh… aku bingung.
“kenapa De?” Tanya Arga tiba-tiba ada di hadapanku. Sedari tadi dia hanya menunggu dipagar. Aku tidak menjawab malah menatap ponselku heran. Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepalaku membuatku tambah pusing.
“kita ke kampusnya.” Seruku kemudian bergegas menuju taksi yang masih menunggu kami.

* * *


Revan kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri yang paling bergengsi di Makassar bahkan se Indonesia timur. Dia mengambil jurusan Pertanian, tepatnya Teknologi Pertanian. Katanya sih dia bercita-cita meningkatkan pertanian di desanya mengingat desanya memang desa para petani. Dengan langkah tergesa aku bergegas menuju secretnya petinggi kampus, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Dulu sewaktu aku belum ke Aussie, aku sering di ajak Revan ke sana. Berhubung dia memang menajdi salah satu pengurusnya. Secretnya sendiri adalah sebuah ruangan yang tidak bisa di bilang luas malah terbilang sempit di tambah barang-barang perlengkapan BEM yang seakan dijejali paksa dalam ruangan itu. Aku berhenti tepat di depan pintu, bimbang. Arga yang mengikutiku, ikut-ikutan berhenti agak jauh.
“cari siapa Mbak?” Tanya seorang cowok berkaca mata minus yang tiba-tiba membuka pintu, sepertinya dia hendak keluar.
“ hmm… Revannya ada?” tanyaku setelah mengatasi keterkejutanku.
“Revan?? Hmm…Revan yang anak Tekper ya Mbak?” tanyanya balik sekedar meyakinkan dirinya.
Aku mengangguk antusias. Akhirnya… aku sedikit lega karena aku merasa semakin dekat dengan Revanku. Aku menunggu cowok tadi yang tampak mengerutkan keningnya bingung membuat kelegaanku tadi melayang seketika.
“hmm.. tunggu bentar ya Mbak..” Ujarnya kemudian masuk kembali ke ruangan tadi. Tidak lama kemudian dia keluar bersama seorang cowok lain. Aku merasa mengenalinya.
“Dea ya??” Tanya cowok itu ragu. Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku mengingatnya. Cowok itu adalah salah satu sahabat Revan. Wawan namanya.
“hai… apa kabar? Kapan balik dari Aussie?” serunya kemudian menjabat tanganku plus senyum lebarnya.
“baru tadi pagi. aku langsung ke kos-an Revan tapi dia gak ada. Katanya udah pindah Kost.” Jawabku
“kita duduk di kantin aja ya… gak enak kita berdiri di jalan seperti ini. Lagian kamu pasti capek. Yuk?!!” ajaknya kemudian aku berbalik mencari sosok Arga yang hampir aku lupakan. Arga masih berdiri di tempatnya mengamati kami.
“oh iya… kenalin ini Arga. Temenku di Aussie. Dia mau jalan-jalan di Makassar, liburan.” Kataku ketika kami telah samapi di kantin kampus. Mereka pun berkenalan.
“Revan emang udah pindah kost. Cuma 2 tahun dia tinggal di sana. Dia pindah kost dekat dengan kampus sini, jadi lebih efisien katanya.” Wawan akhirnya menjawab kebingunganku yang pertama.
“kenapa dia gak cerita ya?” tanyaku pelan.
“mungkin dia gak nganggap hal itu penting untuk diceritain dengan waktu komunikasi kalian yang pendek.” Jawab Wawan seraya menyeruput minumannya. Arga masih diam mendengarkan.
“jadi? Kenapa dia gak ke kampus? Atau dia lagi sibuk nyusun skripsi di kost-annya itu?” tanyaku antusias. Wawan diam cukup lama.
“dia lagi gak ada di Makassar. Dia pulang ke desanya, sekalian penelitian. Terakhir dia kasih kabar 6 bulan yang lalu, kalo gak salah. Penelitiannya di perpanjang katanya. Dia meneliti di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertanian yang ada di desanya sana. Agak jauh juga sih letak perusahaan itu dari rumahnya, makanya dia tinggal di Mess perusahaan, katanya.” Jawab Wawan sembari tersenyum tidak enak. Aku lemas seketika.
“desanya dari sini emang jauh ya?” Tanya Arga tiba-tiba. Aku menatap Wawan menunggu jawaban.
“sekitar 5 jam perjalanan kalo naik mobil pribadi.” Jawabnya. aku berusaha menenangkan hati dan pikiranku. Aku tidak boleh patah semangat mencarinya.
“boleh minta alamat perusahaan tempatnya meneliti atau rumahnya di sana?” Tanyaku kembali bersemangat. Wawan menatapku bergantian dengan Arga kemudian tersenyum.
“kalo alamat perusahaan tempatnya meneliti kebetulan aku tahu karena waktu dia buat proposal buat meneliti di sana, aku yang bantuin dia. Tunggu sebentar saya cek dulu di computer secret.” Jawab Wawan kemudian bergegas ke secretnya.
Tidak lama kemudian dia kembali sembari menyodorkan selembar kertas berisi alamat Perusahaan tempat Revan malkukan penelitian. Kamipun pamit. Arga memaksa mengantarkan aku terlebih dulu setelah itu taksi yang mengantar kami, mengantarkannya ke hotel tempatnya menginap. Arga cukup membuat aku tenang dengan tidak banyak mencecar malah dia langsung menyusun rencana buat berangkat mencari Revan ke desanya. Hal itu membuat aku kembali bersemangat. Aku beruntung ada Arga yang menemaniku. Dia adalah sahabat yang sangat baik.

* * *


Esok harinya, pagi sekali tanpa membuang waktu kami langsung berangkat menuju desa Revan. Kami menyewa sebuah mobil plus sopirnya tentu saja mangingat Arga belum mengenal jalan-jalan di kota Makassar. Dia tidak banyak berbicara. Malah dia tampak asyik berpikir. Hal itu cukup menenangkanku. Aku bisa menata ketenangan hati dan pikiranku kembali setelah menghadapi banyak pertanyaan tentang keberadaan Revan. 5 jam perjalanan, 3 jam terakhir aku tertidur. Ketika sampai di desanya, hari sudah menjelang sore. Kami menyewa penginapan. Karena kondisi tubuh kami yang tidak memungkinkan untuk langsung mencari. Lagipula kemungkinan besar perusahaan itu sudah tutup. Keesokan paginya kami langsung dihadapkan dengan udara dingin yang menyegarkan. Desa itu masih sangat asri. Jauh dari polusi. Dengan mudah kami menemukan perusahaan itu. Kami langsung bergegas memasuki kantornya yang lebih mirip kantor camat.
“ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang bapak setengah baya ramah ketika kami sampai.
“selamat pagi pak. Kami mencari seseorang yang sedang penelitian di sini. Dia dari universitas Makassar pak. Namanya Revan.” Jawabku tersenyum.
“ohh. Tunggu bentar ya. Bapak panggilkan pak Anwar. Dia yang ngurus yang gitu-gituan.” Katanya seraya bergegas ke belakang. Seorang bapak yang seumuran dengan bapak tadi keluar.
“ada yang bisa saya bantu?” Tanya bapak itu. Aku tersenyum, lucu. Bapak yang pertama menanyakan pertanyaan yang persis sama seakan mereka di latih untuk berkata seperti itu untuk pertama kali menyapa seseorang.
“maaf pak mengganggu. Kami nyari seseorang dari kota yang lagi penelitian di sini.” Jawabku lagi.
“penelitian?? Di sini udah gak ada lagi yang bukan staf yang kerja. Tapi… tunggu dulu. Revan?? Hmm.. emang ada yang meneliti di sini tapi itu setahun yang lalu. Kalo gak salah yang namanya Revan itu udah gak balik lagi 6 bulan yang lalu. Waktu itu dia ijin balik ke rumahnya tapi sampe sekarang dia gak balik-balik lagi. Jadi, dia dianggap udak keluar.” Kata bapak itu membuat aku seakan di hantam godam seberat 100 kg.
Mengapa selalu mentok di 6 bulan yang lalu?? Aku terakhir berkomunikasi dengan Revan 6 bulan yang lalu, Wawan juga sekarang bapak ini mengatakan terakhir dia ketemu Revan juga 6 bulan yang lau. Aku shock seketika. Kekuatanku yang ku kumpulkan dalam perjalan tadi rontok seketika. Aku seakan ingin menangis.
“apa bapak punya alamat rumahnya? Bukannya rumahnya di desa ini juga?” Tanya Arga berusaha mengembalikan suasana yang tidak enak. Bapak itu tampak berpikir sebentar.
“kalo gak salah sih emang rumahnya di desa ini juga tapi beda daerah. Tempatnya itu 3 jam perjalanan dari sini. Makanya dia lebih memilih menginap di Mess perusahaan. Tiap hari sabtu dia pulang karena sabtu-minggu perusahaan libur. Tunggu sebentar saya tuliskan nama daerahnya. Kalian Tanya saja. Dia pasti di kenal karena daerahnya itu kan gak begitu luas soalnya alamat lengkapnya juga bapak gak tau.”
Bapak itu menuliskan nama daerah rumah Revan berada kemudian menyerahkannya pada Arga. Aku masih shock tidak mampu berkata-kata. Aku memikrikan satu hal yang paling aku takutkan. Bagaimana jika aku tidak dapat menemukannya? Airmata mengambang di pelupuk mataku. Dengan langkah pelan kami menuju mobil. Arga menyerahkan alamat itu ke sopir yang kemudian mengantarkan kami. Arga tidak bicara sepatah katapun. Dan itu membuat aku tertolong. Aku merasa tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melakukan apapun bahkan berbicara sekalipun.

* * *


bersambung...

cape sarah bacana mba,,ampe ketiduran neeeee...... Sleep Sleep Sleep Sleep Sleep Sleep Sleep Sleep Sleep Sleep lol! lol! lol! lol! lol! lol! lol!
Kembali Ke Atas Go down
sarah_manza

sarah_manza


Posts : 175
Join date : 31.03.09
Age : 35
Location : indonesia, medan

Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! Empty
PostSubyek: Re: Numpang Nyalurin Hobby yak...!!!   Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! I_icon_minitimeWed May 06, 2009 8:00 am

Mia Oesil wrote:

tarik maaang... lanjutan na nie....

Di mana Cinta Bag 2


Aku mungkin kelelahan sehingga tertidur di mobil. Ketika bangun, aku mendapati mobil kosong. Mobil kami terparkir di sebuah petak tanah kosong. Aku keluar dari mobil kebingungan. Di mana Arga? Tidak lama kemudian Arga kembali bersama si sopir.
“rumahnya gak jauh dari sini. Tapi mobil gak bisa masuk. Kita jalan aja. Kamu masih kuat kan?” Tanya Arga seraya mengamatiku.
Aku mengangguk. Kekuatanku telah kembali pulih. Tiba-tiba saja keyakinanku kembali. Aku pasti akan menemukan Revan di sini. Kami berjalan melewati pohon-pohon bambu yang tinggi. Sekitar 10 menit kemudian kami sampai kembali di pemukiman warga.
“kata orang yang tadi aku Tanya sih. Rumah Revan ada di ujung. Satu-satunya rumah yang pake pagar ” kata Revan. Kami tidak sulit menemukannya. Karena hari sudah agak sore, desa itu tampak agak lengang.
Aku mengamati rumah Revan dengan kerinduan yang tidak terkira. Sesampainya di depan pintu aku mengetuk hingga 3 kali. Seorang Ibu setengah baya tampak membuka pintu.
“selamat sore bu. Benar ini rumah Revan?” tanyaku seraya tersenyum. Ibu tadi mengamatiku dengan seksama.
“kalian siapa?” Tanya Ibu itu tampak bingung.
“aku Dea bu… ini teman saya, namanya Arga. Kami mencari Revan bu. Dia ada?” jawabku masih tersenyum. Ibu itu tampak mengamatiku dengan seksama kemudian memelukku.
“jadi kamu yang namanya Dea?? Akhirnya… ibu sering di certain sama Revan tentang kamu. Dia benar, kamu cantik. Mari masuk…” Ujar Ibu Revan tersenyum. Dia merangkulku masuk ke dalam rumahnya. Arga mengikuti kami dalam diam.
“Revan kemana Bu? Kok gak kelihatan?” tanyaku antusias. Ibu Revan tiba-tiba kehilangan senyumnya. Lama dia terdiam.
“dia udah gak tinggal di sini nak..” jawab Ibu revan akhirnya.
“dia punya rumah sendiri bu?? Boleh tau di mana bu? Di desa ini juga kan?” tanyaku lagi. Panik.
“dia di desa ini juga nak…” jawab si Ibu lagi masih dengan nada yang sama. Lirih.
Perasaanku tiba-tiba tidak enak tapi aku berusaha meyakinkan diriku sendiri. Aku mencoba menghalau pikiran bahwa Revan telah memiliki keluarga sendiri bersama wanita lain. Aku percaya dia tidak mungkin melakukan hal itu padaku. Ibu Revan tiba-tiba berdiri.
“mari Ibu antar ke tempat Revan…” ujar Ibu Revan membuat aku kembali antusias. Aku tidak boleh menuduh Revanku tanpa bukti.
Ibu Revan mengantar kami melalui jalan yang hamper sama dengan jalan yang kami lewati tadi penuh dengan pohon bambu, bedanya adalah pohon-pohon di sini lebih lebat. Langkah si Ibu semakin pelan pertanda kami sudah hampir sampai. Aku mengamati jalanan di depan kami. Aku belum melihat satupun rumah. Mengapa Revan tinggal di tempat terpencil seperti ini? Aku tersenyum memikirkan dia lebih memilih hidup ditengah hutan seperti ini, hidup bersama tanaman-tanaman yang sangat di sayanginya. Akhirnya Ibu Revan benar-benar berhenti. Aku kebingungan dibuatnya. Tidak ada satupun rumah di sana. Aku mengamati sekelilingku. Kuburan!! Aku bergidik.
“Ibu… ngapain kita di sini?” tanyaku panik. Beragam macam pikiran berkecamuk namun aku menolak untuk mempercayainya.
“nak… Revan tinggal di sini sekarang. Tepatnya jasadnya. Jiwanya udah tenang di alam sana.” Ujar Ibu Revan tampak air mata mengambang di pelupuk matanya. Aku menggeleng tidak percaya.
“aku gak percaya!! Ibu jangan bercanda… ibu… saya mohon…” aku mulai terisak.
Aku tidak mau melangkah mendekat. Aku menolak untuk percaya. Ibu Revan ikut terisak. Dia duduk dekat dengan Nisan di kuburan itu. Tiba-tiba saja Arga telah berdiri di sampingku, merangkulku. Memberiku kekuatan untuk melangkah mendekat. Meyakinkan diriku. Di nisan itu masih tampak jelas nama Revan beserta tanggal lahir dan tanggal kematiannya. Tepat 6 bulan yang lalu. Aku seketika tidak sadarkan diri. Kenyataan itu aku tolak mentah-mentah.

* * *


Aku sadar keesokan harinya dengan kepala sakit bukan main. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Aku sekarang berada di sebuah kamar yang lumayan luas. Foto Revan tampak tersenyum tertempel di dinding menghantamku telak. Ingatan tentang kuburan membuat hatiku perih. Airmata merebak begitu saja. Aku terisak tanpa bisa menghentikannya. Ibu revan masuk bersama Arga dengan wajah cemas.
“Nak… dia udah tenang di alam sana nak… mungkin jalan terbaik untuknya seperti itu. Kamu harus mengikhlaskannya.” Ujar Ibu revan memelukku.
Tangisku makin pecah. Kenangan-kenangan bersama Revan menyeruak semakin mengaburkan pandanganku yang telah di penuhi air mata. Revan yang selalu tersenyum, selalu mengalah dari keegoisanku, selalu menjadi tempatku bersandar bahkan ketika kami jauh, selalu menjadi segala-galanya. Memikirkan bahwa dia benar-benar telah pergi membuat hatiku hancur. Aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkan hidupku tanpa dia ada di sampingku. Seketika aku merasa penyesalan yang amat sangat menghantam kesadaranku. Mengapa aku harus meninggalkannya? Dia telah meyakinkan aku untuk menerima beasiswa itu. Dia berpikir aku harus berusaha mandiri. Tapi jauh dari perkiraannya. Aku masih saja selalu bergantung padanya. Walaupun hanya sekedar lewat email atau telepon selalu saja masalahku yang menumpuk atau apa saja yang terjadi tidak pernah cukup aku ceritakan apdanya meminta dia menyelesaikannya atau mengomentarinya, memberiku kekuatan. Aku menyesal karena aku tidak di sampingnya ketika maut menjemputnya. Ibunya bercerita bahwa dia telah mengidap penyakit yang sangat kronis. Gagal ginjal. Dia pernah menolong orang yang tidak di kenalnya, menyumbangkan sebelah ginjalnya kepada orang itu. Ironis. Dia menolong orang yang punya penyakit yang akhirnya turut di deritanya bahkan merenggut nyawanya. Karena tidak ingin merepotkan Ibunya dengan biaya yang tidak sedikit, dia memilih untuk menjalani hidupnya begitu saja. Dia bahkan tidak bercerita kepada siapapun. Dia menyimpan rasa sakitnya sendirian. Menderita sendirian tanpa mengeluh sedikitpun. Itulah Revanku. Satu-satunya orang yang aku cintai, satu-satunya orang yang bisa membuat aku percaya bahwa di dunia ini masih ada orang baik, satu-satunya kekuatanku. Orang sangat mencintai senyuman, orang yang sangat mencintai kebahagian di mata orang lain bahkan sekalipun mengorbankan dirinya sendiri. Aku kembali ke pembaringan terakhirnya dengan langkah pelan seakan menapak tilas perjalanannya menuju tempat terakhirnya itu. Sesampainya di sana, Arga yang menemaniku, mengamatiku dari jauh. Aku menghela nafasku panjang, berharap kepedihan hatiku lenyap.
“Van… ini saya… De-mu…” Revan selalu memanggiku De-ku seakan menggambarkan kepemilikannya, hal itu membuat aku berbunga-bunga tiap kali dia mneyebutnya.
“Van… kenapa kamu tinggalin aku sepeti ini? Kamu bahkan gak ngomong apa-apa. Apa kamu udah gak sayang padaku? Kamu tega banget!! Kenapa kamu gak ngajak aku sekalian? Kenapa Van… Kenapa…” aku terisak memeluk nisannya, menggenggam tanahnya yang basah karena hujan semalam.
“kenapa kamu gak bilang Van? aku rela kamu ngambil satu ginjalku. Biar kita berbagi. Itu kan bisa nyatuin kita juga. Kenapa kamu gak membiarkan aku membagi separuh hidupku? Kenapa??” kataku di sela-sela tangisku.
“kamu ingat gak Van, kamu pernah bilang. Semenit saja kamu bisa jatuh cinta padaku tapi untuk melupakanku kamu butuh waktu seumur hidupmu, kamu ingat aku jawab apa? Kamu gak perlu melupakan aku karena aku akan selalu ada untukmu. Apa yang telah aku lakukan? Aku melanggar janjiku. Aku meninggalkanmu bahkan ketika kamu menahan kesakitanmu sendirian. Aku gak ada Van… aku Gak ada… kekasih macam apa aku ini? Aku yang jahat… aku jahat sama kamu… padahal kamu udah sangat baik padaku. Kamu pikir aku gak tahu Van? Kamu memilih kerja part time itu karena kamu gak mau lost contact sama aku? Kamu gak mau memberatkan aku dengan biaya. Aku tega, aku jahat membuat kamu kesusahan sendiri. Aku tidak pantas kamu cintai seperti itu Van.. gak pantas… kenapa kamu tidak mau berbagi sedikit saja kesusahanmu, kesedihanmu padahal semua kesedihan dan kesusahanku aku limpahkan padamu?? Aku jahat….” Aku menjerit membuat Arga mendekat ikut duduk disampingku.
Aku bahkan telah duduk di tanah, tidak peduli dengan tanah basah yang telah menjadi noda pada pakaianku.
“De… gak boleh… kamu dengar kata Ibunya kan?? Relakan dia… ikhlaskan… hanya itu yang bisa membuatnya tenang di alam sana. Hanya itu yang bisa kamu lakukan. Sesedih apapun kamu, dia pasti lebih sedih lagi neglihat kamu seperti ini. Bukannya kamu pernah cerita dia gak pernah mau lihat kamu bersedih, sekecil apapun itu??” ujar Arga seraya memelukku berusaha menenangkanku.
Aku masih terisak di pelukan Arga. Airmataku mengalir terus sekalipun aku berusaha untuk menghentikannya. Aku tahu Arga benar. Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah melepaskan dia dengan ikhlas. Aku tidak bisa menghentikan tangisku karena perih hatiku tidak mau juga hilang.

* * *


6 Bulan kemudian…
Aku menapak tilas perjalanan hidupku tepat setahun meninggalnya Revan. Sejak mengikutiku pulang, Arga tidak pernah meninggalkan kota ini juga. Aku tidak tahu apa yang menyebabkannya bertahan untuk tinggal bahkan sengaja menyewa kost2 an seakan ingin menetap saja. Arga aku tinggalkan di kost-an. Aku sengaja tidakmengatakan padanya bahwa aku ingin kembali menyusuri jejak terakhir Revan. Yach.. hingga detik ini pun aku tidak pernah sekalipun berhenti memikirannya. Perbedaannya adalah aku tidak lagi meratapi kepergiannya melainkan hidup dalam kenangan bersamanya. Aku telah kembali menjalani kehidupanku seperti biasa. Bersama Arga yang tidak pernah meninggalkan aku. Aku mengerti mengapa Arga bersikap seperti itu. Dia mencintaiku, beberapa kali telah disampaikannya padaku. Tetapi bagiku, cintaku hanya untuk Revan seorang. Arga mengatakan siap menungguku seumur hidupnya. Seandainya saja aku bisa… tetapi aku tidak sanggup mengganti tempat Revan dengan Arga sekalipun, tidak pernah selintaspun terpikir olehku.
Aku memulai perjalananku ke tempat pertemuanku dengan Revan pertama kali. Sekolah kami. Aku tersenyum sendiri mengingat kenangan itu. Sekolah kami telah banyak mengalami renovasi. Aku meninggalkan sekolah setelah letih berputar2. Sekolah memang sepi berhubung hari libur. Aku melanjutkan perjalananku ke tempat Revan menyatakan perasaannya padaku. Bukit cinta. Kamilah yang menamainya seperti itu. Aku beristirahat sebentar di sana menikmati udara segar. Bukit ini jauh dari pemukiman warga sehingga tidak banyak yang tahu, bahwa ada tempat seindah ini. Syukur juga sich karena tidak ada yang menggangguku sekarang. Aku tersenyum mengenang bagaimana cara Revan menyatakan isi hatinya…
“De… bersediakah kau menjadi Lentera Hidupku? Menemaniku di setiap langkahku? Menjadi penerang jalanku?” Ujarnya hari itu.
Aku tertawa mendengarnya hari itu. Revan yang selalu membuatku tertawa, dengan wajah merah padam menyatakannya dengan malu-malu. Aku tertawa terbahak-bahak membuatnya tambah malu. Hari itu tepat hari ulang tahunku. Revan yang selalu percaya diri mampu ku buat salah tingkah. Hari itu menjadi hari ulangtahun terbaik bagi ku dengan hadiah yang terbaik pula.
Aku melanjutkan perjalananku menuju tempat yang menjadi tempat kencan kami yang pertama. Pantai Losari. Aku sangat menyukai pantai. Tepatnya Laut. Aku bermain sebentar di tepi pantai. Hari ini walaupun merupakan hari libur tetapi berhubung matahari masih terik, Pantai tampak lengang. Puas bermain air, aku meninggalkan pantai di sertai senyuman mengingat segala hal yang selalu kami lakukan bersama2 jika berada di tempat itu.
Hari sudah agak sore ketika aku sampai di tempat kost lamanya. Aku hanya memandanginya dari luar. Memejamkan mata sebentar membangun kembali memory-memory sekecil apapun tentangnya. Hari terakhir aku bersama Revan di tempat itu adalah sehari menjelang keberangkatanku e Aussie. Malam itu, dengan susah payah dia menghentikan tangisku. Berusaha membuatku untuk berhenti berpikir mengurungkan niatku pergi. Dengan senyuman, aku meninggalkan tempat itu.
Sesampainya aku di bandara Hasanuddin, hari telah menjelang malam. Bandara tampak lengang. Penerbangan terakhir telah berlalu sejak sejam yang lalu. Aku seakan melihat diriku yang tidak ingin melepas genggamanku dari Revan ketika terdengar seruan agar penumpang segera menuju pesawat. Au mengamati diriku sendiri yang dengan susah payah di bujuk Revan agar mw pergi. Hari itu, mungkin aku memiliki firasat bahwa hari itu adalah hari terakhirku menggenggam tangannya, melihat dirinya. Aku segara menepis pikiran yang menyedihkan. Kepalaku terasa pening. Aku menguatkan diriku untuk melanjutkan perjalanan menuju tempat terakhirku. Tempat tinggal Revan-ku yang baru. Yah.. aku kembali ke desa Revan.
Hari telah benar2 larut saat aku tiba. Aku telah berdiri di depan nisan Revan. Kepalaku terasa semakin berdenyut2, seakan mw pecah tapi aku mengabaikannya. Aku duduk mengistirahatkan diri.
“Van… aku kembali… aku telah datang untuk menemanimu… bagaimana bisa kamu berpikir hidup di sana dalam kegelapan? Bukankah aku adalah lenteramu? Bagaimana bisa kamu berpikir bisa melangkah tanpa aku di sisimu menemanimu? Ini belum terlambat kan? Maaf karena aku terlambat datang. Maaf karena aku telah membiarkanmu melangkah tanpa cahaya selama ini. Maaf karena aku pernah meninggalkanmu… aku mencintaimu… aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi Van... aku janji… aku telah datang Van… jemputlah aku…”
Pandanganku mengabur diakibatkan sakit di kepalaku yang semakin menjadi… aku berusaha memfokuskan pandanganku. Sebentuk bayangan semakin jelas dalam penglihatanku.
“Van… makasih karena masih mau menjemputku…” ujarku Lirih.
Pandanganku gelap seketika. Sebelumnya aku sempat mendengar seruan terkejut seseorang memanggilku. Aku tahu itu suara Arga. Tidak mungkin suara Revan karena dia sedang bersamaku sekarang menggenggam tanganku erat. Dia telah menjemputku. Bersama Revan, kupandangi Arga yang mengguncang tubuhku berusaha menyadarkan aku, berteriak panik. Aku juga melihat tubuhku terkulai lemas di pelukan Arga. Aku sudah tidak di sana lagi.
“ Maaf Ga…” Seruku berharap Arga mendengarnya.
Arga tidak sedikitpun menoleh padaku padahal aku berada di depannya. Revan memelukku, menenangkanku yang menangis. Pedih rasanya hatiku melihat Arga berusaha sekuat tenaga membopongku ke mobilnya. Berusaha untuk sampai di rumah sakit tanpa menyadari semua telah terlambat. Aku telah menenggak racun yang mematikan. Waktu penyebaran Racunnya adalah 12 jam. Waktu yang ku gunakan untuk menapak tilas perjalanan hidupku bersama Revan. Aku telah berada di tempat yang seharusnya aku berada. Bersama Revan-ku… Aku sadar, aku tidak akan mampu hidup tanpa Revan di sisiku sekalipun aku punya seribu Arga yang mencintaiku.


END

alah mba wat crita kaya buat sejarah manusia zaman purbakala za.......ribet scratch

mba besok2 wat sejarah terbentukna oon anak2 indo4 yakk,,sarah tunggu loo bounce bounce bounce lol! lol! lol! lol! lol! lol!
Kembali Ke Atas Go down
Mia Oesil

Mia Oesil


Posts : 167
Join date : 01.04.09

Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! Empty
PostSubyek: Re: Numpang Nyalurin Hobby yak...!!!   Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! I_icon_minitimeThu May 07, 2009 4:53 am

sarah_manza wrote:

alah mba wat crita kaya buat sejarah manusia zaman purbakala za.......ribet scratch

mba besok2 wat sejarah terbentukna oon anak2 indo4 yakk,,sarah tunggu loo bounce bounce bounce lol! lol! lol! lol! lol! lol!


Sarah... kalo yg itu mah sementara dalam pengerjaan Razz

tenang ja.. tunggu edisi berikut na aja cheers

gi d edit sana sini n dtambah2in flower



bounce bounce bounce
Kembali Ke Atas Go down
myuki0o0

myuki0o0


Posts : 88
Join date : 02.04.09
Age : 33
Location : SoEraBayA CitY

Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! Empty
PostSubyek: Re: Numpang Nyalurin Hobby yak...!!!   Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! I_icon_minitimeSun May 10, 2009 2:32 am

[size=18][au akh mba gelap ida bacana,,, kelewat panjang,,
lebih panjang dri belalaina bona,,
/size]
lol! lol! lol! lol!
Kembali Ke Atas Go down
Mia Oesil

Mia Oesil


Posts : 167
Join date : 01.04.09

Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! Empty
PostSubyek: Re: Numpang Nyalurin Hobby yak...!!!   Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! I_icon_minitimeMon May 11, 2009 5:17 am

myuki0o0 wrote:
au akh mba gelap ida bacana,,, kelewat panjang,,
lebih panjang dri belalaina bona,,

lol! lol! lol! lol!


Idha emang isa baca yak??? Razz

kan idha ru belajar baca... jangan baca punya mba, pasti puyeng deh Very Happy

kalo idha udah mahir baca, ru idha isa baca tu cerpan cheers

idha jangan buru2 mw baca lgsg yg ribet yak lol!



bounce bounce bounce
Kembali Ke Atas Go down
Sponsored content





Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! Empty
PostSubyek: Re: Numpang Nyalurin Hobby yak...!!!   Numpang Nyalurin Hobby yak...!!! I_icon_minitime

Kembali Ke Atas Go down
 
Numpang Nyalurin Hobby yak...!!!
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» numpang nama.......
» Masa Lalu Biarlah Berlalu

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
INDONESIA 4 CHAT ROOM COMMUNITY  :: Sajak, pantun dan puisi-
Navigasi: