Jakarta, 12 March 2008
Aku melangkah pelan menikmati udara panas Jakarta yang kurindukan. Indonesia tepatnya… tempat yang kurindukan selama ini. 5 tahun di Australia tidak menyurutkan rasa nasionalismeku terhadap Indonesia, sekalipun aku di jamu oleh teriknya matahari, Indonesia kan Negara tropis. Transit di Jakarta Cuma 2 jam. Aku masih harus menempuh 2 jam kurang lebih di pesawat menuju kota asalku. Makassar. Aku rasanya tidak sabar untuk sampai di sana. Aku ingin segera menemui dia… karena dia aku bisa berada di Austalia, kuliah. Dia yang mendorongku untuk mengambil kesempatan emas mengikuti program pertukaran pelajar antar Negara. Karena dia juga aku segera pulang setelah Yudisium. Aku telah berhasil menjalani kehidupanku di sana. Dia tidak tahu hal itu. Ada perasaan was-was juga setelah lebih dari 6 bulan tidak ada kabar sedikitpun darinya. Dia tidak tahu aku telah pulang, dia tidak tahu jika karena dia, aku semakin memburu tesisku agar aku cepat selesai dan segera pulang kembali berada di sisinya. Kurang dari 24 jam lagi aku bisa menemuinya.
“De.. ni minum buat kamu.” Seorang cowok tegap, tinggi, putih berada di hadapanku menyodorkan sebotol minuman dingin. Arga. Kami se kampus di Aussie. Bedanya aku di biayaiin pemerintah sedangkan dia, biaya sendiri. Orang tuanya pejabat penting di kota asalnya, Palembang.
“thanks…” balasku tersenyum.
“so… jam berapa pesawat kamu berangkat?” tanyaku seraya meminum minuman yang disodorkannya.
“pesawat kamu berangkat jam berapa?” tanyanya balik.
“loh… kok balik nanya.” Seruku tertawa.
“kan kita satu pesawat.” Katanya cuek.
“gimana bisa satu pesawat, kamu mo kemana, aku mau kemana??!!” sergahku di sela tawaku.
“kan aku mau jalan-jalan ke Makassar. aku belon bilang ya?” katanya membuatku terpengarah.
“becanda kamu…” seruku berhenti tertawa.
Aku mengamati wajahnya. Dia tampak tidak sedang bercanda. Dia memang jarang sekali bercanda. Baginya hidup harus di jalani dengan keseriusan, ada tempatnya sendiri untuk main2 katanya.
“kok tiba-tiba?” tanyaku masih terkejut.
“siapa bilang tiba-tiba? aku udah mikirin semuanya bahkan sebelum kita berencana untuk berangkat. Udah lah, aku gak bakalan ngerepotin kok. Cuma mw liat aja kampung halamanmu kayak apa.” Sergahnya seraya mengibaskan tangankan ke depan wajahku seakan menghalau semua pikiranku untuk menolaknya ikut.
“ya udah. Kamu udah ngomong ke orang tua kamu kan?” tanyaku lagi membuat dia tertawa.
“gila kamu. Emang aku balita? Kemana-mana harus wajib lapor. Mereka bahkan gak tau anaknya udah selesai.” Dia masih tertawa saat pesawat kami siap untuk berangkat. Makassar… I’m Coming!!
* * *
Taxi yang membawa kami menyelusuri kota Makassar berjalan dengan kecepatan cukup tinggi melalui jalan Tol. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, tersenyum memikirkan respon dia yang selama ini aku rindukan, dia yang selalu aku tunggu teleponnya yang tidak menentu waktunya, mengingat biaya yang harus dikeluarkan. dia tidak menelepon udah beberapa lamanya, aku pikir mungkin itu disebabkan oleh kesibukannya juga menyusun skripsinya, mengingat ini juga tahun terakhirnya. Dia juga tidak mengirim email. Email adalah satu-satunya penghubungku dengannya. beberapa bulan tanpa kabar makin menumpuk kerinduanku. Arga duduk di sampingku juga dalam diam. Barangkali dia sibuk mengamati jalanan yang tidak dikenalnya. Lama kami sibuk dengan pikiran masing-masing, taxi yang membawa kami telah memasuki kota meninggalkan jalan lengang di TOL. Jalanan yang kami lalui sekarang padat kendaraan. Wah 5 tahun aku meninggalkan kota ini dan telah banyak yang berubah. Makassar hampir menyerupai Jakarta dalam hal macet.
“ kapan kamu mau menemui Revan?” Tanya Arga memecah kesunyian.
“rencananya sih aku mau langsung ke tempat kos-annya tapi berhubung kamu ikut, mending cariin kamu hotel dulu buat nginap. Gak mungkin kan kita serumah?” jawabku sembari mengerling nakal.
“kamu takut dia salah paham?” tanyanya lagi.
“yah nggak lah. Dia bukan tipe cowok yang suka cemburuan. Justru dia akan berterima kasih banget sama kamu karena kamu udah jagain ceweknya selama berada di negeri orang. aku udah cerita tentang kamu kok ke dia. Malah dia pengen banget kenal sama kamu.” Jawabku tersenyum.
“masa sih dia gak cemburu? Kalo aku sih, aku gak akan biarin seorang cowokpun deket-deket kamu, kalo aku jadi dia.”
“makanya aku sayang banget sama dia. Karena dia itu bukan tipe cowok kebanyakan.” Ujarku tertawa mengejek.
“kalo dia gak cemburu, ya udah kita langsung aja ke sana. aku gak mau halangin kamu ngelepas rindu. Gak bakalan aku ganggu deh.” Kata Arga membuat aku tertawa makin keras.
“gak mungkin kan kita ke sana dengan barang2 yang segede gunung gitu? Kita cariin kamu hotel trus kita ke rumahku anter barang, lalu kita ke sana bareng, kalo kamu maksa pengen ikut.” Putusku.
Arga diam saja kembali mengamati jalanan yang udah agak lengang. Aku menginstuksikan pak sopir taxi yang kami tumpangi agar mengantarkan kami ke hotel Delima, hotel itu gak jauh dari rumahku.
* * *
Aku menjejakkan kakiku di depan kos-an Revan dengan hati berbunga-bunga. Arga mengikutiku di belakang. Aku menghirup udara dalam-dalam berusaha untuk menenangkan hatiku. Aku mengetuk pintu kamarnya pelan. 3 kali, tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang keluar. Aku mengedarkan pandanganku mencari sosok yang aku kenal. Beberapa anak kos tampak berseliweran tapi tak satupun dari mereka yang aku kenal, ternyata 5 tahun telah membuat kos-an ini berganti-ganti penghuni.
“cari siapa dek?” Tanya seorang ibu paruh baya ramah. Sepertinya pemilik kos-an itu. Aku memang tidak pernah bertemu dnegan pemiliknya dulu saat aku sering berkunjung di sana.
“Revan bu, dia masih di kampus sepertinya.” Jawabku membalas senyumnya.
“Revan? Hmm… sepertinya tidak ada yang namanya Revan dek di sini. Kamar ini udah sebulan kosong. Lagi pula yang dulu tinggal di sini namanya bukan Revan tapi Danu. Apa dia yang adek cari?” kata ibu itu membuat aku terperangah, kaget. Revan udah gak tinggal di sini?
“ohh, jadi Revan udah gak tinggal di sini ya bu? Emangnya Danu itu udah tinggal berapa lama di kamar ini Bu?” tanyaku penasaran. Sejak kapan Revan pindah dan kenapa dia tidak memberitahuku.
“udah 3 tahun dek dia tinggal di sini. Dia keluar dari kos-an ini juga karena kuliahnya udah selesai. Dia pulang kampung.” Jawab Ibu itu kemudian dia pamit untuk kembali ke rumahnya karena dia sedang memasak.
Di mana Revan? Dia telah meninggalkan kos-an ini setidaknya 3 tahun lalu. Kenapa di emailnya dia tidak pernah memberitahu. Emailnya yang terakhir, aku mencoba mengingat-ingat 6 bulan yang lalu. Dia tidak pernah menyinggung hal ini. Aku mengeluarkan hp-ku. Terpaksa aku harus menghubungi ponselnya padahal rencananya aku ingin membuat surprise. Aku menekan nomor Hpnya. Tidak aktif. Bahkan informasinya mengatakan nomor itu sudah tidak aktif lagi. Dia ganti nomor? Ada apa sih dengan Revan, dimana dia dan kenapa dia ganti nomor juga tidak bilang-bilang? Apa ponselnya Raib? Akhghh… aku bingung.
“kenapa De?” Tanya Arga tiba-tiba ada di hadapanku. Sedari tadi dia hanya menunggu dipagar. Aku tidak menjawab malah menatap ponselku heran. Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepalaku membuatku tambah pusing.
“kita ke kampusnya.” Seruku kemudian bergegas menuju taksi yang masih menunggu kami.
* * *
Revan kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri yang paling bergengsi di Makassar bahkan se Indonesia timur. Dia mengambil jurusan Pertanian, tepatnya Teknologi Pertanian. Katanya sih dia bercita-cita meningkatkan pertanian di desanya mengingat desanya memang desa para petani. Dengan langkah tergesa aku bergegas menuju secretnya petinggi kampus, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Dulu sewaktu aku belum ke Aussie, aku sering di ajak Revan ke sana. Berhubung dia memang menajdi salah satu pengurusnya. Secretnya sendiri adalah sebuah ruangan yang tidak bisa di bilang luas malah terbilang sempit di tambah barang-barang perlengkapan BEM yang seakan dijejali paksa dalam ruangan itu. Aku berhenti tepat di depan pintu, bimbang. Arga yang mengikutiku, ikut-ikutan berhenti agak jauh.
“cari siapa Mbak?” Tanya seorang cowok berkaca mata minus yang tiba-tiba membuka pintu, sepertinya dia hendak keluar.
“ hmm… Revannya ada?” tanyaku setelah mengatasi keterkejutanku.
“Revan?? Hmm…Revan yang anak Tekper ya Mbak?” tanyanya balik sekedar meyakinkan dirinya.
Aku mengangguk antusias. Akhirnya… aku sedikit lega karena aku merasa semakin dekat dengan Revanku. Aku menunggu cowok tadi yang tampak mengerutkan keningnya bingung membuat kelegaanku tadi melayang seketika.
“hmm.. tunggu bentar ya Mbak..” Ujarnya kemudian masuk kembali ke ruangan tadi. Tidak lama kemudian dia keluar bersama seorang cowok lain. Aku merasa mengenalinya.
“Dea ya??” Tanya cowok itu ragu. Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku mengingatnya. Cowok itu adalah salah satu sahabat Revan. Wawan namanya.
“hai… apa kabar? Kapan balik dari Aussie?” serunya kemudian menjabat tanganku plus senyum lebarnya.
“baru tadi pagi. aku langsung ke kos-an Revan tapi dia gak ada. Katanya udah pindah Kost.” Jawabku
“kita duduk di kantin aja ya… gak enak kita berdiri di jalan seperti ini. Lagian kamu pasti capek. Yuk?!!” ajaknya kemudian aku berbalik mencari sosok Arga yang hampir aku lupakan. Arga masih berdiri di tempatnya mengamati kami.
“oh iya… kenalin ini Arga. Temenku di Aussie. Dia mau jalan-jalan di Makassar, liburan.” Kataku ketika kami telah samapi di kantin kampus. Mereka pun berkenalan.
“Revan emang udah pindah kost. Cuma 2 tahun dia tinggal di sana. Dia pindah kost dekat dengan kampus sini, jadi lebih efisien katanya.” Wawan akhirnya menjawab kebingunganku yang pertama.
“kenapa dia gak cerita ya?” tanyaku pelan.
“mungkin dia gak nganggap hal itu penting untuk diceritain dengan waktu komunikasi kalian yang pendek.” Jawab Wawan seraya menyeruput minumannya. Arga masih diam mendengarkan.
“jadi? Kenapa dia gak ke kampus? Atau dia lagi sibuk nyusun skripsi di kost-annya itu?” tanyaku antusias. Wawan diam cukup lama.
“dia lagi gak ada di Makassar. Dia pulang ke desanya, sekalian penelitian. Terakhir dia kasih kabar 6 bulan yang lalu, kalo gak salah. Penelitiannya di perpanjang katanya. Dia meneliti di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertanian yang ada di desanya sana. Agak jauh juga sih letak perusahaan itu dari rumahnya, makanya dia tinggal di Mess perusahaan, katanya.” Jawab Wawan sembari tersenyum tidak enak. Aku lemas seketika.
“desanya dari sini emang jauh ya?” Tanya Arga tiba-tiba. Aku menatap Wawan menunggu jawaban.
“sekitar 5 jam perjalanan kalo naik mobil pribadi.” Jawabnya. aku berusaha menenangkan hati dan pikiranku. Aku tidak boleh patah semangat mencarinya.
“boleh minta alamat perusahaan tempatnya meneliti atau rumahnya di sana?” Tanyaku kembali bersemangat. Wawan menatapku bergantian dengan Arga kemudian tersenyum.
“kalo alamat perusahaan tempatnya meneliti kebetulan aku tahu karena waktu dia buat proposal buat meneliti di sana, aku yang bantuin dia. Tunggu sebentar saya cek dulu di computer secret.” Jawab Wawan kemudian bergegas ke secretnya.
Tidak lama kemudian dia kembali sembari menyodorkan selembar kertas berisi alamat Perusahaan tempat Revan malkukan penelitian. Kamipun pamit. Arga memaksa mengantarkan aku terlebih dulu setelah itu taksi yang mengantar kami, mengantarkannya ke hotel tempatnya menginap. Arga cukup membuat aku tenang dengan tidak banyak mencecar malah dia langsung menyusun rencana buat berangkat mencari Revan ke desanya. Hal itu membuat aku kembali bersemangat. Aku beruntung ada Arga yang menemaniku. Dia adalah sahabat yang sangat baik.
* * *
Esok harinya, pagi sekali tanpa membuang waktu kami langsung berangkat menuju desa Revan. Kami menyewa sebuah mobil plus sopirnya tentu saja mangingat Arga belum mengenal jalan-jalan di kota Makassar. Dia tidak banyak berbicara. Malah dia tampak asyik berpikir. Hal itu cukup menenangkanku. Aku bisa menata ketenangan hati dan pikiranku kembali setelah menghadapi banyak pertanyaan tentang keberadaan Revan. 5 jam perjalanan, 3 jam terakhir aku tertidur. Ketika sampai di desanya, hari sudah menjelang sore. Kami menyewa penginapan. Karena kondisi tubuh kami yang tidak memungkinkan untuk langsung mencari. Lagipula kemungkinan besar perusahaan itu sudah tutup. Keesokan paginya kami langsung dihadapkan dengan udara dingin yang menyegarkan. Desa itu masih sangat asri. Jauh dari polusi. Dengan mudah kami menemukan perusahaan itu. Kami langsung bergegas memasuki kantornya yang lebih mirip kantor camat.
“ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang bapak setengah baya ramah ketika kami sampai.
“selamat pagi pak. Kami mencari seseorang yang sedang penelitian di sini. Dia dari universitas Makassar pak. Namanya Revan.” Jawabku tersenyum.
“ohh. Tunggu bentar ya. Bapak panggilkan pak Anwar. Dia yang ngurus yang gitu-gituan.” Katanya seraya bergegas ke belakang. Seorang bapak yang seumuran dengan bapak tadi keluar.
“ada yang bisa saya bantu?” Tanya bapak itu. Aku tersenyum, lucu. Bapak yang pertama menanyakan pertanyaan yang persis sama seakan mereka di latih untuk berkata seperti itu untuk pertama kali menyapa seseorang.
“maaf pak mengganggu. Kami nyari seseorang dari kota yang lagi penelitian di sini.” Jawabku lagi.
“penelitian?? Di sini udah gak ada lagi yang bukan staf yang kerja. Tapi… tunggu dulu. Revan?? Hmm.. emang ada yang meneliti di sini tapi itu setahun yang lalu. Kalo gak salah yang namanya Revan itu udah gak balik lagi 6 bulan yang lalu. Waktu itu dia ijin balik ke rumahnya tapi sampe sekarang dia gak balik-balik lagi. Jadi, dia dianggap udak keluar.” Kata bapak itu membuat aku seakan di hantam godam seberat 100 kg.
Mengapa selalu mentok di 6 bulan yang lalu?? Aku terakhir berkomunikasi dengan Revan 6 bulan yang lalu, Wawan juga sekarang bapak ini mengatakan terakhir dia ketemu Revan juga 6 bulan yang lau. Aku shock seketika. Kekuatanku yang ku kumpulkan dalam perjalan tadi rontok seketika. Aku seakan ingin menangis.
“apa bapak punya alamat rumahnya? Bukannya rumahnya di desa ini juga?” Tanya Arga berusaha mengembalikan suasana yang tidak enak. Bapak itu tampak berpikir sebentar.
“kalo gak salah sih emang rumahnya di desa ini juga tapi beda daerah. Tempatnya itu 3 jam perjalanan dari sini. Makanya dia lebih memilih menginap di Mess perusahaan. Tiap hari sabtu dia pulang karena sabtu-minggu perusahaan libur. Tunggu sebentar saya tuliskan nama daerahnya. Kalian Tanya saja. Dia pasti di kenal karena daerahnya itu kan gak begitu luas soalnya alamat lengkapnya juga bapak gak tau.”
Bapak itu menuliskan nama daerah rumah Revan berada kemudian menyerahkannya pada Arga. Aku masih shock tidak mampu berkata-kata. Aku memikrikan satu hal yang paling aku takutkan. Bagaimana jika aku tidak dapat menemukannya? Airmata mengambang di pelupuk mataku. Dengan langkah pelan kami menuju mobil. Arga menyerahkan alamat itu ke sopir yang kemudian mengantarkan kami. Arga tidak bicara sepatah katapun. Dan itu membuat aku tertolong. Aku merasa tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melakukan apapun bahkan berbicara sekalipun.
* * *
bersambung...